16. Pengakuan Dosa

183 31 10
                                    

Malam penghakiman segera dimulai. Nadia duduk di ruang tamu dengan wajah yang keras. Kedua tangannya sudah terlipat rapi di depan dada. Begitu juga kakinya yang bersilang. Pendengarannya menajam saat menangkap suara mobil masuk ke pekarangan rumah. Dua manusia paling berdosa baru saja pulang dari festival kuliner. Sempat terdengar gurauan keduanya yang samar.

Ya, silakan tertawa sepuasnya, karena sang ratu iblis siap menghukum para pendosa seberat-beratnya.

“Astaga!” Davian terlonjak kaget sambil memegang dada begitu kedatangannya disambut penampakan Nadia yang sedikit menyeramkan.

Wanita itu duduk diam tak bergerak di ruang tamu, dengan penerangan ruangan yang temaram. Kepalanya sedikit tertunduk, tetapi tatapannya lurus ke depan. Membuat bola matanya hampir terlihat putih semua.

“Anjing!” Kali ini Rai yang terkejut. Namun, ia buru-buru menutup mulutnya dengan tangan setelah menyadari telah mengumpat kakaknya sendiri.

“Ngapain di situ, sih, Ci? Bikin kaget aja,” protes Rai.

Nadia menatap keduanya bergantian tanpa bicara. Rasanya ingin sekali memaki dua pria itu sampai ia puas. Namun, melampiaskan emosi dengan cara yang meledak-ledak, bukan tipikal wanita itu.

Davian mulai merinding, lalu menyikut lengan Rai. “Cici lo kesurupan nggak, sih?” bisiknya, membuat Nadia semakin jengkel.

“Hus, sembarangan.”

“Duduk,” perintah Nadia dengan suara rendah.

Dua pria itu menurut tanpa banyak bicara, meski tidak mengerti situasi apa yang sedang mereka hadapi saat ini.

“Kamu,” tunjuk Nadia pada Davian. “Jawab pertanyaan saya dengan jujur.”

Ia mengangguk takut-takut, masih percaya bahwa wanita itu sedang dirasuki roh tak dikenal.

“Nama lengkap?”

“Davian Pratama.”

“Tanggal lahir?”

“11 November 1995.”

“Nama ibu kandung?”

“Nama ibu kandung? Customer service lo? Ngapain pake pertanyaan verifikasi bank? Lo mau ngebobol rekening gue?”

Nadia menggebrak meja. “Jawab pertanyaan saya dengan jujur,” ulangnya tegas.

“M-meita,” cicit pria itu.

“Oh, jadi bener, ya, Ii Meita itu mama kamu.”

Rai dan Davian saling melirik, perasaan mereka mulai tidak enak.

“Tadi, Ii Meita, mama kamu, dateng ke kedai. Dia udah cerita seeeeemuanya, tanpa tau kalo anaknya ternyata bohong sama saya,” ucap Nadia melebih-lebihkan.

Rai membelalak, lalu bertanya, “Mamanya Davian kasih Cici duit?”

Heran dengan respon adiknya yang justru mengarah pada uang, Nadia mengangguk perlahan tanpa bisa menebak arah pembicaraan ini.

“Tuh ‘kan bener. Ellen nggak percaya,” gumam Rai lebih ke diri sendiri.

“Kamu tuh ngomong apa, sih?” tanya Nadia, yang sebenarnya juga mewakilkan Davian.

“Pasti Ii Meita kasih duit supaya Cici putus sama Davian ‘kan? Kayak di sinetron gitu.”

Putus? “Siapa yang pacaran?” protes keduanya serempak, lalu saling melihat satu sama lain.

Nadia memalingkan wajah, mendengkus, lalu menyentuh pelipisnya yang berdenyut nyeri. “Nggak usah alihin pembicaraan deh. Jadi, selama ini kamu tau kalo Davian anak orang kaya yang diusir papanya?”

Hearts IntertwinedTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon