20. Pantang Menyerah

163 23 7
                                    

Sembari menunggu Rai yang baru pulang, beberes untuk siap-siap tidur, Davian terpekur menatap langit-langit kamar. Perdebatannya dengan Nadia tadi, meninggalkan beberapa hal di dalam pikirannya, yang tidak dapat ia pahami.

Nadia tidak dapat mengandung. Apakah Nadia sengaja mengisolasi diri dari percintaan dengan mengatakan ia lebih suka sendiri, karena alasan itu? Apakah itu sebabnya ia berkata bahwa tidak akan menikah?

Entahlah, mungkin, Rai, sebagai adik Nadia satu-satunya, bisa membantu temannya yang sedang kehilangan arah ini.

“Rai,” panggilnya ketika Rai naik ke atas kasur.

“Hm?”

“Cici lo itu nggak punya pacar karena nggak nyari, atau nggak ada yang mau?”

Rai menoleh ke bawah, mendapati temannya berwajah serius, dan tiba-tiba bertanya tentang Nadia. Aneh rasanya melihat sang kakak menjadi penyebab dari kegelisahan Davian kali ini. “Kayaknya, sih, emang dia yang nggak minat. Dulu, beberapa kali ada koko-koko yang mau deketin dia, nggak ada yang jadi tuh.”

“Kenapa dia nggak mau pacaran?” Davian menegakkan tubuh, bertanya penuh selidik.

“Mau fokus UN kali.”

Jawaban asal Rai membuat Davian mendecak. “Serius dong lo, ah!”

“Dih, sensi amat. Kenapa, sih, Kawan? Cici gue juga nggak mau pacaran sama lo, ya?” goda Rai.

“Apaan? Ngajak pacaran juga belom. Makanya, gue nanya dulu ini, minta kisi-kisi.”

Rai tertawa geli. Melihat Davian yang galau merupakan hiburan tersendiri baginya. Pria itu kalau sudah terpikat oleh seorang wanita, pasti akan ada fasenya uring-uringan seperti ini. Dan di saat seperti inilah, niat iseng Rai meningkat.

“Tapi, dia pernah pacaran?” cecar Davian lagi, masih belum puas.

“Kata Ronald, pernah.”

“Kok kata Ronald?”

“Ya, ‘kan dia bilang pas mereka sekantor dulu, gosip-gosipnya Cici punya pacar. Lo nggak nyimak orang cerita, ya?”

“Lo ‘kan adeknya. Kasih jawaban yang pasti kek,” sahut Davian kecewa.

“Jujur, gue nggak tau. Waktu itu kita nggak akrab sama sekali. Lo tau sendiri, ‘kan, meskipun kita sama-sama merantau ke Jakarta, gue nggak pernah ketemuan sama Cici. Ketemunya, ya di rumah ini, pas dia lagi cuti, atau gue lagi libur semesteran.”

Davian mendengkus sebal. Ternyata, Rai sama sekali tidak bisa diharapkan sebagai sumber informasi tentang Nadia. Lantas, tentang yang barusan wanita itu katakan, apakah Rai juga tidak tahu?

“Kalo ke dokter kandungan, pernah?” tanyanya ragu-ragu.

“Siapa?”

“Ya, cici lo, masa elo yang ke dokter kandungan? Hamil lo? Hamil apaan? Babi kecap?” repet Davian tak sabar.

“Lagian kenapa tiba-tiba nanya ke dokter kandungan? Ngapain juga cici gue ke sana? Emang dia hamil?”

Justru, karena Nadia mengaku tidak bisa hamil, ia jadi bertanya. Namun, inti dari semua pembicaraan ini adalah Rai juga tidak tahu soal itu. Artinya, Davian harus berkilah. “Eh, lo pikir cewek-cewek ke dokter kandungan cuma untuk ngecek kehamilan doang? Bisa juga cek kesehatan organ reproduksi.”

“Tau banget lo,” cibir Rai.

“Ini berdasarkan pengalaman mantan-mantan gue.”

“Terus, ngapain lo nanya-nanya Cici pernah ke dokter kandungan apa nggak?” Rai mulai curiga, karena jujur saja topik ini sudah menyimpang dari topik awal.

Hearts IntertwinedWhere stories live. Discover now