25. Proyek Bersama

116 19 11
                                    

Pilar-pilar bangunan itu kini dipenuhi noda hitam, bekas jilatan api. Jelas tidak ada harta benda yang bisa diselamatkan untuk menyambung hidup. Para korban hanya bisa bergantung pada bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan beberapa donatur untuk kebutuhan sehari-hari.

Mereka masih menetap di sana. Bernaung di dalam sebuah tenda sementara yang didirikan sebagai tempat pengungsian. Ada yang tidur, ada yang tampak murung, ada juga yang masih bisa bercanda dengan kawan senasib lainnya, untuk menutupi kesulitan dan ketidakpastian hidup yang sedang mereka hadapi.

Dari kejauhan, pria itu memandang getir. Semua barang mahal yang melekat di tubuh, mobil mewah yang ia kendarai, dibayar oleh derita orang-orang tak bersalah. Jelas, ada kekeliruan di sini. Hati kecilnya pun mengerti hal itu. Sejak kejadian itu, sampai hari ini, tidak pernah sedetik pun hatinya merasa damai. Hanya rasa bersalah yang terus menghantui.

“Ngapain di sini?”

Sebuah suara berat membuat Alden tersentak sesaat. Ketika ia menoleh, tampak Davian menatapnya curiga.

“Gue mau lihat keadaan mereka.”

Davian mengedikkan dagu. “Lo bisa temuin mereka secara langsung. Kenapa harus sembunyi-sembunyi?”

Tampak berpikir sejenak, Alden kemudian menjawab, “Gue nggak enak. Gue sempet terkesan maksa mereka untuk pergi dari sini demi pembangunan proyek. Sekarang, mereka kena musibah gini, gue bisa aja dianggap orang yang seneng lihat keadaan mereka.”

Melihat lawan bicaranya manggut-manggut, Alden bertanya balik, “Lo sendiri ngapain di sini?”

Davian mengerjap beberapa kali, kemudian berdeham salah tingkah. “Sama. Gue juga takut ketemu sama mereka,” ucap pria itu sambil menggaruk pelipis.

Sebelah alis Alden terangkat. Tidak menyangka jawaban itu akan ia dengar dari Davian. Ia tertawa sinis. “Pas diwawancara wartawan, lo yakin banget bilang mau bantu mereka. Kenapa sekarang takut?”

“Ya, namanya juga bakal masuk berita, gue harus jaga image dong. Aslinya mah jiper juga gue kalo ketemu langsung sama mereka. Lo tau sendiri, opini negatif orang-orang ke perusahan gimana. Salah dikit, bisa diamuk warga gue.”

Gerutuan Davian membuat Alden terkekeh ringan. Sepertinya, ini kali pertama pria itu bicara santai padanya. Mungkin suasana hatinya sedang bagus, pikir Alden.

“Mumpung lo di sini, mending lo temenin gue ketemu mereka.”

Raut wajah Alden berubah. Bagaimana bisa ia bertemu langsung dengan korban ketamakan ibunya sendiri? Melihat keadaan mereka dari jauh saja sudah cukup membuatnya sakit hati. “Bukannya gue mau biarin lo diamuk warga sendirian, tapi gue nggak bisa.”

“Kenapa?”

“Gue… hm, ada jadwal meeting sama divisi gue bentar lagi.” Alden melirik arloji untuk meyakinkan pernyataannya.

“Divisi lo? Tinggal reschedule aja. Lo ‘kan bosnya,” sahut Davian santai.

“Nggak profesional namanya, kalo gue maen reschedule dadakan.” Alden masih berusaha mengelak.

“Nggak profesional gimana? Lo ‘kan lagi ada urgensi, nemenin atasan lo.”

Kening Alden berkerut. “Sejak kapan lo jadi atasan gue? Atasan gue cuma Bapak Pratama Widjaja.”

“Y-ya, jabatan gue lebih tinggi dari lo, jadi otomatis gue atasan lo juga.” Davian tidak mau kalah. Sebenarnya, ia tidak suka membawa-bawa jabatan untuk menekan orang lain. Namun, kalau memang kedatangannya di sini tidak diterima dengan baik, setidaknya ia tidak apes sendirian.

Hearts IntertwinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang