10. Gaji Pertama

177 31 0
                                    

“Asik, gajian nih kita.” Bimo mengusap kedua tangannya di depan dada ketika Rai mendekat ke arahnya, membawa sebuah amplop.

“Ko, gaji saya bulan ini bisa ditransfer aja nggak? Saya mau check out barang nih,” timpal Ocha cengengesan.

“Alah, banyak mau lo. Ngerepotin si Koko aja,” balas Bimo setelah mengucapkan terima kasih pada Rai atas pemberian amplop tersebut.

“Biarin, sih. Ko Rai yang punya duit, kenapa lo yang sewot?”

“Udah, nggak usah berantem. Nanti bonus akhir tahun kalian gue potong, ya, sebanyak berantemnya.” Rai melerai, sekaligus mengancam.

“Si Bimo duluan, Ko, rese,” tunjuk Ocha pada Bimo tidak terima.

Nadia menyaksikan drama gratis di hadapannya sambil menggelengkan kepala dan tersenyum samar. Adu mulut antara Ocha dan Bimo memang sering mengisi keramaian kedai ini, meski yang didebatkan bukanlah hal penting. Rai juga yang selalu menjadi penengah dengan ancaman potong gaji atau bonus, yang sebenarnya tidak pernah benar-benar ia lakukan.

Pandangannya beralih pada Davian yang sedang melayani pelanggan dengan ramah. Sudah lebih dari sebulan, sejak kedatangan pria itu ke rumahnya. Sejauh ini, Davian tidak pernah bertingkah macam-macam, selain beberapa kali membuat Nadia naik darah akan kecerobohannya. Meski belum jelas asal-usulnya, tetapi sepertinya pria itu adalah orang baik, juga sopan. Beberapa pelanggan, terutama kaum wanita juga merasa senang dengan adanya wajah baru di Kedai Nyonya Lim. Memang tidak begitu signifikan, tetapi angka penjualan memang meningkat sejak Davian ada di sini.

Nadia terpikirkan sesuatu sebelum sebuah sapaan riang terdengar di telinganya. “Ci Nad!”

Itu Raisa. Bukan Raisa yang sering menjadi bintang iklan atau manggung di kota satu ke kota lain, melainkan seorang pelanggan setia Kedai Nyonya Lim sejak ia masih SMA. Dulu, hampir setiap hari Raisa datang ke sini untuk mengisi perutnya setelah pulang sekolah dan menunggu jemputan. Sekarang, gadis itu sudah menjadi mahasiswa, kuliah di luar kota.

“Eh, Sa? Lagi pulang?” balas Nadia.

“Iya, lagi libur semesteran.”

“Gimana rasanya jadi anak kuliahan?”

“Agak syok, karena nggak kayak di novel-novel. Boro-boro mepetin kakak tingkat yang populer, yang ada ngapelnya sama tugas, tugas, tugas mulu.”

Nadia tertawa renyah mendengar cerita Raisa yang disampaikan secara menggebu-gebu. Ya, perkataan gadis itu ada benarnya. Kehidupan perkuliahan Nadia juga jauh dari genre romansa.

“Wih, Sa, apa kabar? Udah gede aja ini bocah.” Rai ikut menimbrung.

Sorry, ya, aku bukan bocah lagi. Aku ini udah ma-ha-sis-wa,” jawab Raisa sambil mengibas rambut.

“Iya, iya, mahasiswa. Buruan tuh pesen, mumpung lauk masih ada.”

Raisa menoleh ke deretan lauk yang masih dijajakan. Namun, fokusnya berubah ketika melihat orang asing di sana. “Siapa tuh, Ci?”

Nadia menoleh sekilas mengikuti arah pandang Raisa, lalu menjawab, “Pegawai baru, temennya Rai.”

“Widih, bening juga,” Raisa mendecak kagum. “Temen dari mana, Ko?”

“Satu kampus dulu.”

“Kok di kampus aku nggak ada modelan begini, ya?”

Rai tertawa ringan. “Lo telat lahir, Sa.”

Raisa kembali menoleh pada Rai dan Nadia. Matanya berbinar. “Wah, ini ibarat drakor, kedai kalian termasuk bertabur visual. Ci Nadia cantiknya unreal, Ko Rai juga gantengnya unreal karena kalian mirip. Ditambah satu personil lagi yang cakepnya melokal dan mudah digapai.”

Hearts IntertwinedDove le storie prendono vita. Scoprilo ora