17. Sepercik Rasa yang Terbit

204 28 8
                                    

Semalaman Nadia tidak bisa tidur. Sebenarnya, sudah beberapa malam ia seperti ini, sejak mendapat serangan fakta bertubi-tubi. Dari Davian yang berasal dari keluarga konglomerat, sampai Davian adalah adik dari Alden Wiratama. Rasanya, lebih baik ia menerima kenyataan bahwa pria itu memang mantan pegawai restoran yang diusir karena tidak bisa membayar uang kos, seperti skenario awal. Begitu lebih masuk akal, dan tidak membuat Nadia hampir gila seperti sekarang.

Rai, Rai, seandainya ia tahu siapa yang ia bawa ke dalam rumah ini.

Lantas, ia baru terpikir lagi. Setelah mengetahui bahwa Davian dan Alden punya hubungan kakak-adik, apakah membiarkannya tinggal bersama adalah keputusan yang benar? Padahal kemarin ia sudah yakin akan memenuhi permintaan Meita karena tahu Davian memang dalam bahaya.

Ck. Come on, Nad, tenang! Toh, pria itu juga tidak tinggal selamanya. Setelah masalah ini selesai, ia akan kembali ke keluarganya, dan Nadia tidak lagi ikut campur akan segala aspek kehidupan Davian. Jadi, ia juga tidak perlu khawatir dengan kemungkinan bersinggungan kembali dengan Alden, karena hal itu tidak akan pernah terjadi. Tidak akan pernah.

Entah sudah berapa lama Nadia duduk termenung di belakang meja kasir, sampai Ocha menegurnya. “Ci, itu ada yang mau bayar.”

“Oh, maaf, maaf,” ucapnya gelagapan, lalu menghitung harga lauk di dalam piring seorang pembeli.

Ocha masih memperhatikan Nadia yang terlihat kalut hari ini. Mendadak, wanita itu lupa berapa harga sepotong rendang, sehingga butuh waktu untuk mengingatnya. Padahal, hal tersebut adalah sesuatu yang harusnya dihafal di luar kepala. Lalu, atasannya itu juga berkali-kali salah menjumlahkan harga lauk, bahkan baru sadar bahwa ia bisa menggunakan kalkulator. Kecerobohan biasanya menjadi musuh Nadia, tetapi hari ini, mereka sedang berkawan. Juga, jangan lupakan lingkar hitam di bawah matanya, yang melengkapi kekacauan penampilan Nadia hari ini.

“Cici lagi sakit, ya?” tanya Ocha khawatir.

Nadia menggeleng sambil tersenyum. “Nggak.”

“Lagi ada masalah?” tebaknya lagi.

“Nggak kok.”

“Hari ini Cici kayak orang linglung. Kenapa, Ci?”

“Kecapekan aja kali, makanya nggak fokus,” dalih Nadia. Jawaban yang akhirnya bisa diterima oleh Ocha.

“Omong-omong, ii yang modis kemaren dateng lagi nggak, ya, Ci?

Yang dimaksud Ocha adalah Meita. “Nggak tau. Emang kenapa?”

“Nggak apa-apa. Seneng aja liatnya. Kayaknya dari semua pelanggan yang dateng ke kedai, ii yang kemaren yang paling bening, kayak artis.”

Nadia tertawa kecil, mengingat ia juga menyangka Davian adalah artis saat pertama kali bertemu. Namun, Ocha belum tahu bahwa orang yang sedang dibicarakannya adalah mama dari Davian.

“Waktu itu, Cici ngobrolin apa aja sama Ican?”

“Ican?”

“Ii Cantik,” jawabnya cengengesan.

“Ah, mau tau aja kamu.”

“Ican punya anak yang masih jomblo nggak, Ci, kali aja mau dijodohin sama saya,” gurau Ocha.

Nadia pura-pura berpikir. “Kayaknya ada deh.”

“Ganteng nggak, Ci? Dikasih lihat mukanya nggak sama Ican?” tanya Ocha antusias.

“Yah… mirip-mirip Davian gitu deh.”

“Hmm lumayan juga, ya, berarti. Ican cerita nggak orangnya gimana? Sifatnya gitu?”

Hearts IntertwinedWhere stories live. Discover now