22. Insiden Kebakaran

143 21 7
                                    

Suasana ruang makan begitu tenang. Tidak ada suara selain denting alat makan. Meskipun begitu, isi kepala dua orang yang sedang duduk berhadapan menikmati hidangan makan malam, tidak selaras dengan situasi ruangan. Sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai tidak tahu dari mana harus memulai pembicaraan.

Namun, bagi beberapa ART yang bekerja di rumah mewah ini, keadaan seperti sekarang adalah sesuatu yang normal di antara Pratama dan Meita. Mereka memang jarang bicara, baik di meja makan, atau di sudut mana pun dari rumah ini, kalau tidak ada hal yang terlalu penting.

Ketenangan itu tidak berlangsung lama karena saat ini terdengar suara bel rumah yang ditekan berkali-kali. Mereka berdua mengangkat wajah, saling berpandangan. Sepertinya tamu ini bukan orang yang sabar. Seorang pegawai sampai terbirit-birit menuju pintu untuk melihat siapa yang datang, sementara Pratama dan Meita tetap melanjutkan makan.

Terdengar obrolan samar antara pegawai tadi dengan entah siapa. Pratama dan Meita menyantap hidangan di hadapan mereka sambil menunggu pegawai itu memberikan informasi mengenai tamu yang datang. Namun, yang muncul pertama kali, bukanlah orang yang mereka nantikan.

Pria muda yang sudah tidak pernah Pratama lihat selama beberapa bulan terakhir, menunjukkan batang hidungnya. Raut wajah Davian tidak berubah. Masih pongah dan keras, sama seperti terakhir kali mereka bertemu.

Reaksi pertama pria paruh baya itu adalah sebuah tawa yang terdengar sangat mencemooh. “Ngapain di sini?”

Meita yang sempat terpaku sesaat, memilih diam, tidak ikut campur jika tidak terpaksa. Beberapa pegawai yang sedang berada di ruang makan, satu per satu mulai meninggalkan ruangan, seakan sudah bisa memprediksi akan ada keributan beberapa saat lagi.

“Udah nggak punya duit?” Suara Pratama yang tinggi menggema di dalam rumah, menyebabkan anggota lain dari rumah ini, keluar dari kamar masing-masing. Linda dan Alden cukup tercengang melihat kehadiran Davian. Sementara Alice, memilih mengintip dari celah pintu saja.

Bahu pria itu tampak naik-turun, ia tidak berniat menjawab satu pun pertanyaan Pratama, karena dirinyalah yang sedang mencari jawaban. “Apa Papa yang lakuin itu?” Sebisa mungkin Davian bertanya dengan sabar.

“Bisa ngomong yang jelas?”

“Kebakaran itu, apa Papa terlibat?”

Pratama tampak tertegun dan tidak langsung menjawab. Ia meletakkan alat makan, kemudian bangkit berdiri. Pria itu berjalan lambat ke arah Davian, tetapi tidak memutus kontak mata yang intens di antara mereka. “Karena rencanamu gagal, kamu menyalahkan orang lain? Siapa yang ngajarin kamu begitu?”

Papanya memang tidak bisa diajak bicara baik-baik. Akhirnya pertahanan emosi Davian mulai luruh sedikit. “Pertanyaan aku sederhana. Papa tinggal jawab iya, atau nggak. Kenapa susah banget jawabnya?”

“Menurut kamu?” sahut Pratama cepat.

“Menurut aku? Mungkin. Sama hidup anak sendiri aja Papa nggak peduli, apalagi hidup orang lain.”

Mata Pratama mulai berkedut akibat kata-kata yang keluar dari mulut anak itu. Tangannya sudah terkepal dalam saku celana, hingga ia tidak bisa berkata apa-apa saking marahnya.

Tatapan Davian beralih pada Alden yang sejak tadi menjadi penonton, menunjuknya lurus. “Mulai besok, gue nggak mau lihat lo di kantor gue.”

Meskipun merasa tersinggung, Alden tidak dapat membantah karena posisinya hanya sebagai pengganti sementara saat Davian tidak ada. Selama ini, ia menjabat sebagai General Manajer Marketing Widjaja Group, dan bekerja di kantor yang sama dengan Pratama.

“Siapa yang izinin kamu balik ke kantor?” bentak Pratama geram.

“Nama aku masih tertulis secara sah di akta perusahaan. Aku akan bertanggung jawab untuk menjaga nama baik perusahaan yang aku kelola, apalagi sekarang mulai beredar rumor yang menyangkutpautkan insiden kebakaran dengan Widjaja Development karena rencana pembangunan itu.”

Hearts IntertwinedWhere stories live. Discover now