14. Mulai Terbiasa

156 19 4
                                    

“Masih belum deal?” Suara berat Pratama seakan mengintimidasi lawan bicaranya.

“Belum, Pa.” Papa. Panggilan yang masih kaku ia lafalkan, meski sudah beberapa tahun tinggal bersama.

Pria tua itu mendecak. “Kamu bisa kerja nggak, sih? Udah berbulan-bulan, nggak ada perubahan. Semua investor udah mendesak saya. Beberapa bahkan bilang mau mundur dari proyek ini.”

“Apa nggak sebaiknya proyek ini ditunda dulu sampe kita ketemu lokasi lain? Kalo aku terlalu maksa, mereka bisa aja berbuat yang lebih daripada demo kemaren. Kalo udah begitu, image perusahaan juga yang kena dampaknya.”

Pratama melirik lelaki muda itu dengan tajam. “Saya paling nggak suka sama orang yang tujuannya nggak sama dengan saya.” Ia menjeda sejenak, lalu, “Lagipula, kalo mau mendapat warisan, setidaknya kamu harus memantaskan diri. Kalo proyek ini ditunda, terus apa gunanya kamu di sini?”

Alden menatap Pratama lekat, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Entahlah, ia juga tidak tahu apa fungsinya dalam keluarga yang berantakan ini. Padahal, dulu hidupnya baik-baik saja. Ia hanya pria yang berasal dari keluarga biasa. Dibesarkan oleh kedua orangtua yang berkecukupan. Bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Sesekali berkumpul dengan teman-teman, juga berkencan. Alden pernah menjalani kehidupan normal.

Sampai ketika Linda mengatakan bahwa ia bukan anak kandung dari seorang pria tua yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, menunggu ajal menjemputnya. Beberapa tahun setelah papanya meninggal, Linda membawa Alden masuk ke rumah asing ini, beserta Alice.

Sebelum kejadian ini, pria itu sudah sadar bahwa dirinya selalu menjadi boneka Linda, bahkan sejak ia masih kecil. Banyak hal terjadi di luar keinginan Alden, hanya demi memuaskan sang ibu. Kalau ia membangkang, Linda akan menggila, bahkan tidak segan menyakiti diri sendiri, sampai Alden dengan sangat terpaksa harus menurut.

Mungkin, sejak dulu Linda memang sudah merencanakan semuanya. Jadi, ia menyiapkan Alden sebaik mungkin agar dapat diterima dalam keluarga Widjaja. Namun, ambisi wanita itu makin menjadi ketika mereka tinggal di sini.

Lantas, atas pernyataan Pratama barusan, Alden menyanggah dalam hati. Tidak, ia tidak butuh warisan. Mungkin Linda yang lebih butuh.

“Lakukan sesuatu yang besar, maka saya juga nggak akan malu mengakui ke semua orang bahwa kamu adalah anak saya,” sambung Pratama lagi.

Ia juga tidak butuh pengakuan. Bagi Alden, papanya sudah tenang di alam sana. Sementara yang berada di hadapannya saat ini, hanya seseorang yang kebetulan menyumbang genetik padanya. Pratama bukan ayah Alden, karena ia tidak pernah melakukan tugas seorang ayah sejak pria itu lahir hingga dewasa.

Alden menghela napas. “Aku akan pikirin cara lain untuk membujuk mereka,” ucap pria itu pada akhirnya.

Sampai kapan ia harus mengikuti semua skenario buatan Linda? Bahkan, ia merasa tidak mampu memiliki dirinya sendiri. Namun, kalau melawan, ia ngeri dengan apa yang akan dilakukan Linda. Alden juga mengakui bahwa mamanya gila, bisa melakukan apa saja tanpa segan. Ia tidak mau, mengulang masa lalu hanya karena gagal menjadi anak yang baik.

***

KIRIM. Setelah menekan tombol itu, Nadia menutup laptop dan meregangkan tubuh. Ia baru saja mendaftarkan Kedai Nyonya Lim untuk ikut ke dalam sebuah festival kuliner. Karena sekarang sudah ada tenaga tambahan, sepertinya kedai bisa berjalan di dua tempat sekaligus.

Perut wanita itu berbunyi. Sudah lewat jam makan malam. Nadia tidak ingat waktu karena begitu fokus mengisi formulir. Lantas, ia terpikirkan sebuah menu untuk makan malam. Nasi goreng buatan Davian boleh juga untuk mengisi perut yang kosong.

Hearts IntertwinedWhere stories live. Discover now