9. Sarapan untuk Nadia

171 30 5
                                    

“Whoa!”

Nadia menggeliat, mengubah posisi tidurnya jadi menyamping, memeluk guling.

“Whoa!”

Wanita itu mulai terusik oleh kebisingan di luar kamar. Maka, gulingnya ia gunakan untuk menutup telinga.

“Whoa!”

Sekarang Nadia melempar guling itu dengan kasar. Ia duduk di sisi ranjang, memegangi kepalanya yang sedikit pusing.

“WHOAAA!”

Ia melirik tajam ke pintu kamar. Masa bodoh dengan pertimbangan untuk bersikap baik pada Davian, ia akan mengubur pria itu hidup-hidup karena telah mengganggu tidurnya.

Nadia membuka pintu dengan kasar. Dengan langkah lebar, ia mengikuti seruan yang berasal dari dapur. Namun, amarah yang sudah ada di ujung lidahnya tertahan begitu melihat Davian sedang memasak. Bukan soal memasaknya yang membuat mulut Nadia menganga, tetapi penampilan pria itu.

Davian memakai kaos lengan panjang, sarung tangan, celana panjang, kaos kaki, dan yang paling mencolok adalah helm di kepalanya. Semua itu digunakan Davian untuk menghindari percikan minyak mengenai tubuhnya. Ia sedang mengarahkan spatula ke wajan dengan takut-takut, tanpa tahu Nadia berdiri di belakangnya.

Agenda mengamuk yang telah disiapkan Nadia, lenyap begitu saja. Wanita itu bersandar pada kusen pintu dapur, menutup mulut dengan tangannya, menertawakan Davian diam-diam.

“Lo ngapain, sih? Berisik banget pagi-pagi.”

Kemunculan Rai yang tiba-tiba, mengejutkan Nadia dan Davian. Secara serempak, mereka menoleh. Tampaknya, Rai juga terbangun karena seruan Davian karena matanya belum terbuka sempurna.

Pelaku yang menghebohkan seisi rumah pagi ini, segera menyingkap kaca helm, tersenyum sumringah. “Eh, Cici udah bangun? Udah baikan, Ci?” Ia sama sekali tidak menghiraukan repetan Rai.

“Mm.” Nadia menghapus senyumnya, lalu mengangguk.

“Tema kostum lo apa sih, Dav? Valentino Rossi buka gerobak nasi goreng?”

Nadia kembali menyembunyikan senyum di balik tangannya.

Lagi-lagi pria itu mengabaikan Rai. “Cici tunggu di meja makan aja. Nanti saya anter nasi gorengnya.”

“Oke,” sahut Nadia singkat, meninggalkan dapur.

Rai menghampiri dan menepuk bahu sahabatnya, lalu berbisik, “Dav, lo nggak lupa identitas ‘kan?”

“Ngomong apa, sih, lo? Nggak jelas.” Davian masih melanjutkan kegiatan masaknya.

“Lo itu Davian Pratama, Direktur Utama Widjaja Development. Kenapa di rumah gue malah ngebadut gini?” Rai mengamati penampilan Davian dari ujung kepala hingga kaki.

“Ya, justru karena di rumah lo. Kalo gue ngebadut di kantor, mana lucu.”

Rai menggelengkan kepala. Kalau ada karyawan kantor Davian yang melihatnya sekarang, pasti mereka akan beranggapan bahwa atasannya ini hampir gila karena mengurus kerjaan.

Selesai memasak, Davian mematikan kompor, memindahkan masakannya ke piring makan, kemudian menyajikannya di meja makan.

Rai mengekori Davian ke meja makan. Nadia memasang ekspresi datar ketika sepiring nasi goreng dihidangkan Davian untuknya, sementara Rai melihatnya dengan tatapan malas.

“Bentuknya agak kurang meyakinkan.” Rai menilai makanan di hadapannya.

“Komen mulu lo, kayak tetangga sirik,” balas Davian sambil melepas atribut yang dikenakannya. “Udah lo pergi sana. Hus, hus, Ci Nadia mau makan, ganggu aja.” Davian mengibas-ngibaskan tangan di depan Rai.

Hearts IntertwinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang