19. Tentang Mimpi

198 28 6
                                    

Pria gila! Pria brengsek! Pria mesum! Davian menggeram sambil mengacak rambutnya sendiri. Sejak kapan ia punya kebiasaan tidur sambil berjalan? Kenapa tidak pernah ada yang memberitahunya bahwa ia punya kebiasaan buruk seperti itu? Rasanya, sekarang ia tidak punya muka lagi untuk berhadapan langsung dengan Nadia. Ia masih betah menyendiri di kamar, sementara wanita itu dan Rai sibuk mempersiapkan kedai.

“Dav, tolong bawa lauk ke kedai dong. Udah banyak yang selesai ini.”

Teriakan Nadia dari luar, terdengar oleh Davian. Ia bisa menebak wanita itu masih memasak karena sesekali terdengar bunyi wajan yang dioseng. Sayang sekali untuk pekerjaan yang satu ini, ia tidak mendapat hak cuti. Mau tidak mau, ia tetap harus bekerja di kedai, dan kembali berhadapan dengan atasannya, Nadia, seperti biasa. Boro-boro cuti, ia dan Rai sekarang sedang menjalani masa hukuman.

Tarikan napas panjang dan dalam menambah sedikit nyali pria itu untuk keluar dari kamar. Ia berjalan ke tempat Nadia sambil menunduk.

“Ci, saya—”

“Itu tuh, udah selesai, kamu bawa ke kedai dulu, ya,” tunjuk Nadia pada beberapa wadah lauk di atas meja makan.

“Semalem—”

“Buruan, Dav, udah ada pelanggan yang dateng,” potong wanita itu lagi.

Davian menghela napas. Jelas sekali Nadia tidak ingin membicarakan kejadian itu. Ditambah, ia juga sedang sibuk pagi ini. “Oke,” ucap Davian pada akhirnya. Ia melaksanakan perintah wanita itu.

Hari ini terasa lebih panjang daripada biasanya. Bukan hanya karena merasa lelah secara fisik, tetapi pikiran Davian juga ikut lelah. Interaksi antara dirinya dan Nadia menjadi aneh. Ia jadi lebih berhati-hati ketika bicara atau melakukan sesuatu di depan Nadia, sementara wanita itu juga menghindari kontak mata yang terlalu lama dengannya.

Nadia memilih mengelak, dan berusaha bersikap biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa, tetapi Davian tidak bisa seperti itu. Baginya, setiap ganjalan harus diluruskan. Setiap masalah, harus dibicarakan. Ia tidak bisa berada dalam situasi yang membingungkan seperti ini.

“Semalem tuh ada apa, sih?” tanya Rai ketika mereka punya waktu luang di kedai. Ia baru bertanya sekarang karena setelah keributan singkat terdengar, pria itu memutuskan langsung tidur kembali, sebelum rasa kantuknya hilang.

“Gue jatuh.”

Samar-samar, Rai ingat posisi Davian yang terduduk di lantai. “Jatuh kenapa?”

“Jatuh cinta sama cici lo,” ujarnya cengengesan, membuat Rai yang mendengarnya jadi kesal.

“Nyesel gue nanya barusan.”

Davian tertawa ringan.

Rai melirik temannya dalam diam. Meskipun terlihat seperti bercanda, tetapi semalam mereka sedang berdua di ruang makan. “Lo… nembak Cici, ya?” tebaknya.

Seandainya Rai tahu bahwa ia melakukan sesuatu yang lebih parah daripada sekadar meminta Nadia menjadi kekasih, kira-kira bagaimana responnya? “Kok lo tau?”

Bukannya terkejut, Rai justru terbahak-bahak. “Ditolak, ‘kan, lo? Makanya sampe ngedeprok di lantai. Nggak dengerin gue, sih.”

Davian melempar tatapan sinis. Temannya ini bukan hanya sok ganteng seperti nama grup obrolan mereka, tetapi juga sok tahu. “Siapa bilang gue ditolak? Itu kita abis…” Ia sengaja menggantung kalimatnya.

“Abis apa?”

“Melakukan adegan dewasa.”

“Anjir! Jangan macem-macem lo di rumah gue,” ancam Rai sambil bangkit berdiri.

Hearts IntertwinedWhere stories live. Discover now