26. Menepati Janji

146 27 11
                                    

“Cha, tolong beresin lauk, ya. Bawa pulang aja semuanya,” ujar Nadia sambil menghitung uang tunai di laci kasir, karena sebentar lagi kedai akan ditutup.

“Oke.” Ocha mengacungkan jempol, langsung bergerak menuruti perintah.

“Masih ada apa, Cha? Gue juga mau dong, buat makan di kos,” timpal Bimo yang sedang mengepel lantai, dibantu Rai.

“Empal noh sisa dua, buat lo aja. Biar makanan lo bergizi, nggak telor doang.”

“Wih, mantap! Terus lo gimana? Sayuran doang nggak apa-apa tuh?” tanya Bimo ragu karena memang hanya tersisa empal gepuk, bayam kuah bening, dan pare ikan asin.

“Dih, tumben lo mikirin gue,” cibir Ocha sebelum melanjutkan, “Gue mah gampang, di rumah juga dimasakin Ibu.”

Ocha mulai memasukkan makanan ke dalam beberapa wadah. “Omong-omong, Cici sama Koko nggak mau ini buat makan malem?” tanyanya kepada Nadia dan Rai.

“Nggak, saya—”

“Cici makan malem sama gue.” Suara lain memotong omongan Nadia.

Nadia, Rai, Ocha, dan Bimo otomatis menoleh ke arah yang sama. Kemudian, semua mata terbelalak mendapati Davian berjalan masuk ke dalam kedai, dengan penampilan yang berbeda.

Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan membiarkan dua kancing atas terbuka, dipadukan dengan jas dan celana kain berwarna senada. Arloji hitam yang tepinya dihiasi bingkai perak mengilap, melingkar gagah di pergelangan tangan. Sepatu oxford hitam. Aroma musk menguar segar, manis, dan lembut dari tubuhnya. Terakhir, model rambut side bangs yang tertata rapi, seakan menonjolkan ketampanannya.

Orang yang pertama kali ia lirik, tentu saja Nadia. Ia menyunggingkan senyum lebar sampai kedua matanya hampir menjadi sebuah garis, sementara wanita itu membalas dengan senyum kaku yang samar.

Dalam hati, Nadia mengumpat karena si jantung sempat berdebar seenaknya saat pandangan mereka bertemu. Ia sama sekali tidak memprediksi kedatangan Davian karena pria itu juga tidak mengatakan apa-apa. Mereka bahkan belum bertukar kabar selama beberapa hari.

“Ko Davian?” sebut Ocha dan Bimo berbarengan.

“Buset, gaya bener, Ko, kayak mau kondangan,” canda Ocha.

“Ini mah bukan cuma dateng ke kondangan. Jadi pengantennya juga cocok,” tambah Bimo.

Davian tertawa-tawa menanggapi candaan Ocha dan Bimo. Seperti sudah lama sekali ia tidak bersenda gurau dengan penghuni kedai ini.

“Kok cuma Cici yang diajak makan? Gue?” protes Rai.

Ia merangkul Rai dengan santai. “Ah, masa masih nanya? Perlu gue jelasin?”

“Nggak usah pegang-pegang gue. Pergi lo,” Rai mengedikkan bahu agar terbebas dari rangkulan itu, pura-pura merajuk. “Dah, dah, kerja lagi. Nggak usah diladenin, soalnya bukan kita yang dicari,” seru Rai kembali mengayunkan gagang pelnya. Ocha dan Bimo mengikuti.

Davian terkekeh. “Ya, selesaiin dulu aja. Nanti kita ngobrol-ngobrol.”

Lantas, pria itu melangkah gugup menghampiri Nadia di meja kasir, yang masih menatapnya tak percaya. Saking bahagianya bertemu wanita itu, Davian jadi sulit berkata-kata. Otot wajahnya hampir kaku karena tidak bisa berhenti tersenyum.

“Kenapa tiba-tiba dateng ke sini?” Nadia mulai membuka topik.

“‘Kan udah janji bakal ketemu kamu kalo urusan saya udah selesai.”

“Jadi, semua udah baik-baik aja?”

Davian mengangguk sambil menumpukan tangan dengan nyaman di atas meja kasir. “Bisa dibilang gitu.”

Hearts IntertwinedWhere stories live. Discover now