8. Nadia dan Ketakutannya

194 39 0
                                    

Bau alkohol bercampur dengan karbol pembersih lantai rumah sakit, menusuk indera penciuman Nadia. Samar-samar terdengar bunyi mesin denyut jantung yang monoton. Nadia mengernyit dalam tidurnya. Jemarinya bergerak lemah. Ia bisa merasakan sesuatu menusuk punggung tangannya. Derit roda ranjang yang didorong oleh perawat di luar kamar, membuat mata Nadia terbelalak seketika.

Mimpi buruk lagi.

Dengan satu gerakan, ia terduduk tegang di atas ranjang. Napasnya memburu, membuat mesin monitor pasien mengeluarkan bunyi yang berirama cepat, mengikuti denyut jantungnya. Matanya mengerjap panik. Kedua tangan Nadia meraba dada dan perutnya. Kali ini, mimpi buruknya seperti nyata.

Belum puas memastikan, Nadia mencoba membuka plester infus dengan kasar. Setelahnya, ia mengerang karena nyeri datang akibat perbuatannya itu. Ia memandang gumpalan darah yang mulai naik ke selang infus dengan tatapan nanar. Tidak, ini tidak benar. Ia tidak boleh ada di sini. Ia tidak mau ada di sini. Nadia sibuk gelisah sendiri sampai tidak sadar bahwa ada orang lain di situ yang memandangnya heran.

Davian melongo melihat semua tingkah laku wanita itu yang terjadi begitu cepat. Ia sempat tersentak ketika Nadia bangun secara mengejutkan sampai ingin melepas infus sendiri. Sekarang, ketika wanita itu menyadari keberadaannya, Davian melihat ada yang lain dari sorot matanya. Nadia terlihat ketakutan. Tubuhnya juga gemetar.

“Cici nggak apa-apa?” tanya Davian khawatir.

“Pulang,” ucap Nadia pelan.

Davian yang tak mendengar jawaban Nadia, berjalan mendekat ke ranjang. “Hm?”

“Saya mau pulang.”

“Oke. Saya panggil suster dulu.” Davian hendak menekan bel di dekat ranjang, ketika tangan Nadia menahannya.

“Kita nggak bisa langsung pulang aja?”

Tunggu, ke mana perginya semua sifat keras wanita itu? Sekarang, ia bahkan memelas di depan Davian. Nadia yang di hadapannya sekarang, bukan seperti Nadia yang selama ini tinggal bersamanya. “Nggak bisa. Infus Cici harus dilepas sama suster. Nggak boleh dilepas sendiri, bahaya,” ujar Davian seperti menerangkan sesuatu pada anak kecil yang sedang merengek.

Kedua tangan Nadia terkepal. Kepalanya menunduk, tak bisa membantah.

“Nggak usah takut. Ada saya.”

Nadia kembali mendongak, memandang Davian. Tatapannya tidak bisa diartikan, tetapi entah mengapa membuat pria itu grogi.

Pria itu berdeham. “Ada Rai juga. Dia lagi urus administrasi sebentar,” sambung Davian lagi, sebelum ia memencet bel.

“Saya nggak takut,” ucap Nadia tiba-tiba. “Saya nggak kenapa-kenapa. Jadi, tolong jangan bilang apapun ke Rai tentang saya hari ini.”

Tanpa menunggu jawaban, Nadia langsung berbaring kembali, memunggungi Davian, lalu memejamkan mata kuat-kuat, demi mengusir kecemasannya. Sebentar lagi. Ia harus sabar. Sebentar lagi ia akan segera keluar dari sini.

***

“Sialan! Bikin malu!” Pratama mengusap wajahnya dengan kasar. Emosi pria itu meluap karena kini namanya terpampang di berbagai berita, dan citra baik yang selama ini selalu dijaga, menjadi buruk seketika di mata masyarakat.

Linda menghampirinya, mencoba untuk menenangkan, tetapi langsung ditepis oleh pria itu.

“Sebenernya Alden bilang apa sih, sampe mereka nekat begitu?” Yang Pratama tahu, Alden yang terakhir kali menemui mereka untuk bernegosiasi.

“Nanti biar aku yang bicara sama Alden. Kamu tenang dulu, ya,” ucap Linda dengan lembut.

“Gimana caranya bisa tenang? Anak itu baru dikasih tugas kecil aja nggak becus. Beda sama Davian.”

Hearts IntertwinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang