12. Taruhan

148 23 0
                                    

Rambut panjangnya ia ikat tinggi-tinggi, menyisakan poni untuk membingkai wajah mungilnya. Seperti biasa, agenda pagi ini adalah… ke mana lagi kalau bukan ke pasar?

Begitu keluar kamar, Nadia tampak bingung mendapati Rai duduk di ruang keluarga, sedang menguap lebar. “Kok udah bangun, Rai?”

Rai menoleh. “Mau ke pasar ‘kan?”

“Bukannya semalem kamu pulang malem banget, ya? ‘Kan aku udah bilang, aku bisa ke pasar sendiri.”

Semalam, Rai pergi bersama Davian, berkumpul dengan koko-koko sok ganteng yang lain, Ronald dan Mario. Nadia bahkan tidak tahu kapan mereka berdua pulang karena sudah keburu masuk alam mimpi.

“Nggak mungkinlah, Ci, kamu ke pasar sendirian subuh-subuh begini.”

“Kalo kamu lagi sakit, aku juga pergi sendiri kok biasanya.”

Davian keluar dari kamar, mengangkat dagu, membusungkan dada, berjalan penuh wibawa. Gayanya sudah seperti pahlawan. Sepertinya, matahari lebih dulu terbit di wajahnya, sebelum menyinari angkasa, karena senyuman Davian begitu cerah. “Udah, nggak usah berantem. Ada Davian di sini.”

“Kamu mau apa?” tanya Nadia datar.

“Rai, lo lanjut tidur aja. Mata lo aja masih susah dibuka. Ci Nadia biar gue yang temenin.” Davian menepuk dadanya.

“Nggak usah, kalian berdua lanjut tidur aja. Saya nggak mau pas di kedai, kalian malah ngantuk,” tolak Nadia, hendak mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas rak.

Buru-buru Davian menghalangi wanita itu. “Saya tau Cici bisa sendiri, tapi biar saya aja yang nyetir.” Ia tersenyum singkat, lalu mengambil kunci mobil.

Tak lama, Rai bangkit berdiri, merebut kunci dari tangan Davian. “Gue aja, lo di rumah.”

“Gue aja.” Davian berusaha meraih benda itu kembali.

“Gue.”

“Gue.”

“Aduh! Kalian tuh kenapa, sih?”

Bentakan Nadia membuat kedua pria itu berhenti. Sekarang Rai dan Davian diam dan saling bertatapan. Rai memandang Davian cukup sengit, sedangkan pria itu justru mengernyit bingung.

“Tau. Kenapa, sih, lo?” timpal Davian.

Rai mendengkus. “Pokoknya gue tetep ikut. Lo bawa mobil,” perintahnya, kemudian melengos pergi.

Diam-diam Davian mengulas sebuah seringai tepat ketika Rai melewatinya. Pasti pria itu kesal karena perkataan Davian semalam.

Davian, Rai, Ronald, dan Mario mengosongkan waktu untuk mereka berkumpul dan bercengkerama di bar langganan mereka. Obrolan masih mengalir santai sampai Ronald, penggemar berat Nadia, menyinggung soal idolanya.

“Gimana rasanya tinggal bareng Ci Nadia? Gila, iri banget gue sama lo.”

Ronald sudah menjadi pengagum wanita itu sejak ia menjadi mahasiswa magang di perusahaan tempat Nadia bekerja dulu.

Wanita itu cukup populer di sana. Selain cantik, ia juga pintar. Beberapa kali ia ditawarkan untuk menempati posisi yang lebih tinggi, tetapi selalu ditolaknya. Alasannya, ia sudah nyaman menjadi Food Scientist. Kepribadiannya terkenal hangat dan ramah.

Ronald jatuh cinta pada pandangan pertama ketika tak sengaja berpapasan dengan Nadia di kantor, dan wanita itu tersenyum manis padanya, meski ia hanya seorang mahasiswa magang. Ketika Ronald bercerita di grup mereka, akhirnya ia tahu bahwa Nadia adalah kakak kandung Rai.

Namun, seperti yang seringkali terjadi, wanita secantik Nadia, tidak mungkin belum ada pemiliknya. Ya, kabarnya, Nadia sudah punya pacar. Kabarnya lagi, pacar wanita itu juga tampan. Mereka bisa dibilang pasangan serasi, meski Ronald tidak tahu siapa, dan tidak pernah melihat rupa orangnya. Jangankan Ronald, Rai, adik Nadia, saat itu pun tidak tahu dan tidak begitu peduli dengan hubungan percintaan cicinya.

Hearts IntertwinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang