2. Somewhere Only We Know

26.5K 2K 18
                                    

Anya memetik bunga dandelion di sebuah taman dekat perumahannya yang sepi. Taman ini memang dari dulu sudah sepi, sedikit orang-orang yang berminat untuk kesini. Disini hanya ada dua ayunan reot yang sudah karatan dan rerumputan yang tidak terawat bertahun-tahun lamanya membuat rumput liar menjadi panjang seperti ilalang.

Tapi, jika kalian menelusuri taman ini lebih jauh tanpa malas untuk melewati rumput panjang (dan kata orang, gatal) itu, kalian akan menemukan beribu-ribu bunga dandelion yang tumbuh liar. Itu sebabnya Anya suka berkunjung kesini sendiri, tidak ada yang tahu tempat ini, Hanya Anya.

Jadi ia duduk ditengah-tengah padang bunga dandelion itu sambil memetik bunganya lalu meniup bunga itu membuat bunganya terbang. Ia suka melakukan itu.

Seharusnya Anya tadi bermain sepeda mengelilingi perumahan mereka bersama Carl. Tapi, seperti biasa, Laura datang tiba-tiba. Dan seperti biasa juga, Carl mengingkari janjinya.

Anya memilih untuk menyendiri di taman tua ini, dengan bunga-bunga dandelion yang menjadi temannya selama ini. Anya memetik bunga mungil itu lalu meniupnya.

Kata Bunda nya, kalau ia ingin meniup bunga dandelion, ia harus membuat permintaan terlebih dahulu, lalu meniupnya, membuat terbang bunganya. Kata Bundanya juga, bunga yang terbang itu membawa permintaan yang akan terkabul.

Lagi, Anya meniup bunga itu. Kali ini harapannya masih sama.

Ingin terus bersama Carl.

Hanya itu yang gadis kecil itu inginkan.

"Anya?"

Anya menengok, menemukan sosok anak laki-laki jangkung yang berdiri tak jauh dari ayunan reot. Anak laki-laki itu mendekat ke tempat Anya duduk dan duduk disebelah gadis itu.

Arga.

Sepupu temannya yang baru Anya kenal beberapa hari yang lalu.

Anya mengernyit. Bagaimana Arga bisa tahu tempat rahasianya ini? "Kok Arga tau, kalau Anya disini?"

Arga tertawa kecil "Aku lihat sepeda mu di depan taman ini."

Anya menepuk keningnya pelan. Bodoh. "Jadi, sekarang ... tempat ini jadi rahasia kita berdua. Setuju?"

Arga mengangguk dan menggumamkan kata 'setuju' yang membuat Anya tersenyum lega sekaligus senang. Yah, setidaknya ia senang mendapatkan teman yang dapat ia percayai.

Dan sepertinya, kini tidak hanya Anya yang mengetahui tempat itu.

*

Anya tersenyum senang ketika Abang kembarnya--Dimas dan Dean, berjalan menghampiri Anya yang tengah duduk di ayunan belakang rumahnya. Kedua Abangnya bingung, biasanya, dengan semangat, satu-satunya adik perempuan mereka ini akan menyambutnya dan langsung mengajak mereka bermain.

Tapi, kali ini, tidak. Anya hanya duduk di ayunan sambil sesekali mengayunkan kakinya.

"Tumben gak ngajak Abang main bola?" tanya Dean dengan kedua alis dinaikkan.

"Anya capek, Bang." jawab Anya. Yah, tidak semua jawaban itu benar sih. Sebenarnya, Anya kehilangan semangatnya karena Carl dan Laura tadi.

"Anya capek? Wah, rekor nih." canda Dimas. "Kalau bohong tambah jelek, loh."

Anya tertawa kecil "Beneran deh,"

"Pasti gara-gara Carl, 'kan? Mana dia? Biar Abang marahin. Masa adik Abang dibuat sedih gini?" ujar Dean

"Pokoknya, kalau ada laki-laki yang gangguin atau buat kamu sedih, kamu tinggal lapor ke kita. Kita berdua bakal selalu ngejaga Anya. Oke?" ucap Dimas sambil tersenyum memamerkan lesung pipi nya.

Anya mengangguk dan tersenyum kecil "Makasih, Bang."

"Jadi, siapa yang mau main bola?" ujar Dean sambil menyeringai. Ia mengeluarkan bola sepak yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang punggungnya.

"Bentar, ah! Anya mau minum dulu. Abang main duluan aja." ucap Anya tanpa menunggu jawaban kedua abangnya. Yang Anya dengar adalah jawaban 'oke' serempak.

Tanpa mau membuang banyak waktu, ia berjalan menuju dispenser dan mengisi gelasnya dengan air mineral. Aktivitas Anya terhenti ketika mendengar samar-samar suara isakan tangis. Ternyata suara itu berasal dari ruang keluarga.

Bundanya--Sinta, tengah menangis lalu memutuskan sambungan telepon di ponselnya. Anya terdiam, kenapa Bundanya?

Karena merasa diperhatikan, Sinta menengok dan menemukan anak perempuannya tengah bergeming sambil memandangnya dengan tatapan bingung. Dengan cepat, Sinta menghapus air mata dipipinya. "Anya gak main sama Abang?"

"Bunda kenapa?" tanya Anya sambil menghampiri Sinta.

Sinta menggeleng pelan "Nggak kok. Bunda cuma pusing." tapi, entah kenapa, Anya tidak mengerti, Sinta kembali meneteskan air matanya sambil mengelu puncak kepala Anya pelan. "Maafin, Bunda, sayang."

*

"Gadis itu, bukan anak ku! BUKAN!"

Anya menyaksikan Ayahnya--Divan, membentak Sinta. Air matanya sedari tadi tidak berhenti keluar. Ia takut. Apa maksudnya? Gadis itu? Apa yang dimaksud Divan adalah Anya?

Sinta hanya menangis sambil menunduk tidak berani menatap Divan yang sedang meluapkan semua amarahnya.

"Aku tidak mempercayai ini semua! Selama ini?! Kenapa kamu tidak pernah mengatakan kalau Anya bukan anak ku?!" Divan kembali membentak Sinta

Anya membeku di tempat persembunyiannya. Terus menangis melihat kedua orang tuanya bertengkar karena nya.

"Divan, maaf. Aku tidak bisa membuang Anya begitu saja. Tolong ... Tolong, biarkan Anya tinggal disini." Sinta memohon sambil terus menangis

"Aku tidak sudi menampung anak haram itu!"

"Sekali ini saja, tolong. Paling tidak biarkan Anya mendapatkan pedidikan yang layak,"

"Baiklah, kalau itu mau mu. Aku akan membiarkannya tinggal disini dan membiyayainya sekolah. Ketika ia lulus SMA. Ia harus keluar dari rumah ini. Dan kamu ingat ini; gadis itu tidak akan sama dengan kedua Abangnya" ucap Divan. Lalu, pria itu meninggalkan Sinta yang tengah menangis sambil terduduk di ruang keluarga.

Sinta menengok ke arah tempat Anya berdiri. "Semua akan baik-baik saja, sayang."

Anya menggeleng lemah. Bundanya berbohong, semuanya tidak akan baik-baik saja. Ia berlari ke atas, menggedor-gedor pintu kamar kedua Abangnya. "Abang, Abang!"

Pintu dibuka. Wajah datar Dimas terlihat. Dengan cepat, Anya langsung menghambur ke pelukan Dimas dan menenggelamkan wajahnya sambil menangis. Anak kecil berumur sembilan tahun baru saja mendengar pengakuan dari Ayahnya sendiri, kalau ia bukan anak kandung Ayahnya.

Secara tidak terduga, Dimas melepaskan pelukan Anya dengan kasar. Entah sejak kapan, air mata Dimas sudah membasahi pipinya.

"Abang...?" lirih Anya.

"Mulai sekarang, lo, jangan panggil  gue dan Dean 'Abang'. Karena, kita bukan Abang lo!" Baru saja, Dimas hendak mendorong Anya, tetapi ditahan oleh Dean. "Lo penyebab, Bunda dan Ayah betengkar!!"

Dimas membanting pintu kamarnya dan membiarkan Anya sendirian diluar. Anya terus mengetuk-ngetuk pintu kamar Abangnya itu, dengan air mata yang tidak berhenti. "Abang! Abang!"

"Abang... Anya takut. Anya takut.."

Anya terisak di depan pintu sambil memeluk dirinya sendiri. Ia masih mendengar Ayahnya berteriak marah disusul suara barang pecah di bawah sana. Anya menutup telinganya.

Ayah dan kedua Abangnya kini membencinnya. Keluarga nya menjadi renggang kerena dirinya.

Kita berdua bakal selalu ngejaga Anya. Oke?

Maafin, Bunda, sayang.

Gadis itu, bukan anak ku!

Semuanya ... Tidak akan baik-baik saja. Anya tahu, kalau hidupnya akan berubah.

The Reason is YouWhere stories live. Discover now