8. Perjanjian

19.7K 1.8K 5
                                    

Anya menatap Dean yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan datar. Ia tidak masuk sekolah hari ini. Ia lebih memilih menemani abangnya di rumah sakit.

Dean ...

Kakaknya yang selama bertahun-tahun mendiamkannya dan tidak memperdulikannya. Tiba-tiba saja datang, menolongnya dari kejahatan di luar sana. Rela mempertaruhkan nyawanya demi seorang adik yang ternyata bukan adik kandungnya.

Anya menggenggam erat tangan Dean sambil mengelusnya dengan ibu jarinya dan masih terus memperhatikan abangnya yang sedang koma dengan napas teratur.

Anya tersenyum kecil. Ternyata, kakaknya yang satu ini masih peduli dengannya. Anya beranjak dari duduknya dan mengecup kening abangnya itu "Makasih, bang."

*

"Kenapa kemarin gak masuk?"

Anya melirik Carl di depannya yang sedang memperhatikan Anya dengan posisi tangan cowok itu menyangga kepalanya. Ah, sungguh manis.

Anya melepas headphone-nya. "Apa?" ujarnya, meminta ulang pertanyaan Carl.

"Kenapa kemarin gak masuk?"

"Oh. Cuma gak enak badan."

"Gak ada hubungannya sama telpon lo pas malam kemarin lusa, 'kan?"

"Nggak ada." bohong Anya.

"Tapi, gue denger kalau, lo nangis dan banyak suara kendaraan. Lo kemana aja kemarin?"

"Gue di luar rumah. Soal nangis--"

"Oh, ya. Gue tau." Carl manggut-manggut. Ia menyimpulkan kalau, Anya menangis karena permasalahan keluarganya "Jangan pernah bikin gue khawatir lagi, Anya."

Anya terpaku melihat Carl yang serius dengan ucapannya. Khawatir? Ah, Carl. Jangan membuat Anya jatuh lebih dalam untukmu.

"Ya, maaf buat lo khawatir."

Anya merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya. Dengan cepat, ia menyeka darah segar itu. Cukup banyak yang keluar, sehingga membuat gadis itu kewalahan. Kepalanya mendadak pusing dan badannya kedinginan.

Carl panik melihat Anya yang tiba-tiba mimisan di depannya. Ia berusaha mencari tissue atau sesuatu. Tapi, yang ada hanyalah buku tua dari perpustakaan sekolah. Tidak mungkin, 'kan?

Seketika itu juga, pandangan Anya menggelap dan ambruk.

*

Anya membuka matanya perlahan, rasa pusing menyerang kepalanya dan aroma obat-obatan mulai masuk ke indra penciumannya. Ia berada di UKS. Yang Anya tau, kalau tadi hidungnya sempat mengeluarkan darah dan pingsan di perpustakaan.

Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru UKS. Kosong. Bahkan, kursi di pojok ruangan yang biasa dokter duduki, kosong. Anya melirik jam dinding di UKS. Sudah waktu pulang sekolah.

Selama itukah ia pingsan?

Dengan rasa pusing, Anya beranjak dari ranjang UKS dan keluar dari ruangan itu. Bau obat-obatan membuatnya mual. Kening Anya berkerut ketika melihat para siswa berlari kecil menuju lapangan di tengah gedung sekolah.

Mereka semua membuat lingkaran di lapangan. Anya terpaku ketika berhasil melihat siapa yang berada di tengah-tengah lingkaran tersebut.

Carl.

Carl berlutut dengan satu kaki di depan seorang gadis yang Anya yakini, Laura. Pipi Laura langsung bersemu merah dan berbisik kepada Carl supaya cowok itu berdiri dari posisinya. Carl tersenyum miring dan masih tetap berlutut.

"Laura, seharusnya aku udah bilang ini dari dulu. Tapi, dengan alasan tertentu aku baru bisa nyatain ini sekarang." ucap Carl. Semua siswa yang menonton adegan tersebut langsung mulai berbisik kepada teman di sebelahnya. "Would you be my girlfriend? Be mine forever?"

Anya membeku. Laura menatap Carl tak percaya. Sedangkan teman-teman Carl yang ikut menyaksikan sohibnya bersorak menyemangati Carl.

Laura tak bisa menahan senyumnya. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama ia menunggu ini akhirnya, ia ditembak oleh Carl juga!

Dengan pelan disertai senyuman malu, Laura menggangguk "Yes."

"Apa? Aku nggak denger?" ujar Carl bercanda.

Pipi Laura memerah "Ya, aku mau,"

"Apa?"

"IYA, AKU MAU JADI PACAR KAMU, CARL!"

Carl tertawa diikuti semua siswa yang menyaksikan. Ia bangkit berdiri dan memeluk Laura erat. Lega karena akhirnya ia bisa memiliki gadis pujaan hatinya secara utuh.

Mata Carl sempat bertemu dengan mata Anya. Carl tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya tanda misi-selesai kepada Anya tanpa mengetahui kalau Anya sedari tadi berusaha menahan bendungan air matanya agar tidak tumpah begitu saja.

Anya tersenyum tipis dan mengangguk kecil membalas Carl.

Untuk kesekian kalinya, hatinya hancur. Harapan yang selama ini Anya bangun kembali satu demi satu langsung hancur begitu saja dalam hitungan detik.

Ia langsung berbalik membelah siswa yang masih membuat lingkaran di tengah lapangan. Air matanya tumpah seketika, membuat Anya harus menutupi wajahnya dengan menunduk.

Anya menabrak seseorang yang langsung menahannya. Arga menatap Anya datar. Untuk pertama kalinya, Anya mengharapkan mata teduh Arga membuatnya tenang.

Tapi, tidak. Air matanya malah semakin deras keluar. Anya melepaskan pegangannya kepada Arga dan meninggalkan Arga sendiri yang sedang bergulat dengan pikirannya.

*

Suara dentingan piring keramik beradu dengan sendok logam. Anya melirik kursi kosong di sebelahnya. Kursi yang biasanya ditempati oleh Dean. Suasana makan bersama semakin buruk setelah kejadian yang menimbulkan Dean koma sampai sekarang.

Terdengar suara ayahnya--Divan berdeham. Anya mendongak menatap mata tajam Divan takut. "Kamu tau 'kan, kalau sebentar lagi kamu lulus SMA? Dan kamu juga tau perjanjian saya dengan ibumu. Jadi, lebih baik, kamu persiapkan dari sekarang."

Ucapan Divan membuat Anya membeku di tempat duduknya. Ia mengetahui perjanjian Divan dengan Sinta--bundanya. Perjanjian dimana saat Anya sudah mendapatkan pendidikan yang layak (SMA), ia harus pergi dari rumah yang ia tinggali sekarang.

Anya mengangguk lemah, berusaha menahan bahunya yang mulai bergetar hebat. Ia harus menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia harus terlihat kuat didepan orang tuanya.

The Reason is YouWhere stories live. Discover now