15. Bertepuk Sebelah Tangan

18.8K 1.7K 11
                                    

Anya berjalan sambil membawa bindernya. Pikirannya kosong. Ia masih mengingat kejadian kemarin di Kafe Aloha.

Apa cowok misterius yang bersama Laura itu mempunya hubungan dengan Laura?
Kalau tidak, mengapa Laura terlihat gugup waktu itu? Kalau ya, mengapa Laura melakukannya?

Anya merasakan ia menyenggol seseorang, membuat bindernya jatuh dengan suara nyaring dan cukup membuat Anya tersadar dari lamunannya dan membuat badan Anya terhuyung ke belakang kalau saja orang yang ia senggol tadi tidak mencengkram lengan Anya.

Mata Anya bertemu dengan mata Carl. dengan tangan yang masih memegangi lengan Anya, Carl berjongkok mengambil binder Anya yang tak sengaja terjatuh, lalu memberikannta kepada Anya yang masih mematung diam "Jangan melamun."

Anya mengangguk kecil sebagai jawabannya "Makasih."

Carl menatap nanar luka lebam yang masih terlihat di pipi kanan Anya "Nya--"

"Denger, Aiden sama sekali gak salah tentang kejadian itu, dia keliatan sedih dan kacau dan mungkin sebuah pelukan bisa buat dia tenang lagi. Itu semua gak seperti yang lo pikirin, Carl. Lo gak seharusnya marah sama Aiden." jelas Anya. "Kalian udah lama sahabatan, gak seharusnya kalian pisah gitu aja karena hal ini."

Carl tersenyum kecut "Really? Gue udah nonjok lo dan yang lo pikirin hanya hubungan gue sama Aiden? Lo sama sekali gak marah sama gue, Nya?" Carl meninggikan suaranya.

Ia marah. Ia marah karena Anya sama sekali tidak marah karena sudah menonjokknya. Ia marah karena Anya hanya peduli dengan hubungannya dengan Aiden.

Carl marah karena faktanya, Anya menyukainya. Dan hal itu membuat Anya sendiri sakit. Carl marah karena Anya sakit karena dirinya.

Jangan pernah sia-siain orang yang sayang sama lo

Anya menunduk tidak menjawab pertanyaan Carl.

"Kenapa, Nya?! Jawab gue!"

"Karena gue tau kalau lo gak sengaja, lo salah paham, dan berniat untuk ngelindungin gue." Anya tersenyum kecil.

Carl melihat senyuman tulus itu. Senyuman yang sebentar lagi akan hilang dirusak oleh dirinya sendiri. Karena cuma Carl yang bisa membuat gadis itu kembali hidup dan membuat gadis itu mati.

Karna Carl tahu, kalau sampai kapanpun, Carl tidak pernah membalas perasaan Anya.

*

Dari balik tembok, Anya bisa mendengar kedua orang tuanya saling meneriaki satu sama lain. Suara teriakkan dan isak tangis yang memilukan dari mulut Bundanya terdengar, membuat Anya juga seolah merasakan rasa sakit yang dirasakan Bundanya.

Sedangkan Ayahnya, pria itu masih membentak Bunda Anya dengan suara keras dan lantang.

Dan semuanya terjadi karena Anya.

Karena Anya dilahirkan di dunia ini.

Dunia yang sama sekali tidak mengharapkan dirinya ada.

Dunia yang Anya pikir akan indah.

Namun, tak seindah yang ia bayangkan selama ini.

"Kamu masih saja membela anak kamu itu?! Anak haram itu?! Kamu seharusnya sadar! Karna anak haram itu kita jadi seperti ini!!" bentak Divan "Dia juga penyebab Dean anak kita sendiri koma di rumah sakit!! Seharusnya kamu sudah membuang anak haram itu dari dulu!!"

"Cukup, Divan!!" teriak Sinta disela-sela tangisannya.

Divan tersenyum sinis "Apa? Masih banyak hal yang merugikan yang dibuat oleh anak haram itu!"

Hati Anya mencelos karena berkali-kali Ayahnya sendiri memanggil Anya dengan sebutan anak haram. Dengan perasaan berani, Anya muncul di depan Divan "Ayah, stop!"

Divan terkekeh geli melihat Anya dengan air mata menggenang muncul di hadapannya "Masih berani panggil saya dengan sebutan 'Ayah' rupanya?" Divan tersenyum meremehkan ke arah Sinta yang masih menangis "Lihatlah kelakukan anak haram yang selalu kamu bela ini, sudah berani nguping rupanya,"

Divan menaikkan tangan kanannya menganbil ancang-ancang menampar Anya "Dasar anak kurang ajar!"

Plak.

Anya meringis kesakitan ketika tangan itu mendarat kencang di pipi kanan Anya, rasanya perih, di pipi dan di hatinya. Ia terhuyung pelan ke belakang hingga akhirnya terjatuh terduduk.

Divan melepas cincin pernikahannya yang tadinya melekat di jari manisnya. Dan melemparnya dan mendarat di depan Anya.

"Aku pergi." ujar Divan singkat lalu pergi meninggalkan Anya dan Sinta yang terduduk.

Anya menatap nanar cincin itu dan memungutnya lalu menyimpannya di saku celananya.

Sinta memeluk Anya "Maafin, Bunda, Anya. Maafin Bunda..."

Anya membalas pelukan Bundanya yang terasa hangat, Anya menahan air matanya yang menggenang, ia tidak boleh menangis lagi. Ia sudah sering mengalami kejadian seperti ini. Ia harus terlihat kuat di depan Bundanya.

"Nggak, Bun. Bunda gak salah, Anya yang salah..." balas Anya lirih. "Bener kata Ayah, karena Anya, Ayah sama Bunda jadi seperti ini. Seharusnya Anya gak lahir di dunia ini, harusnya Anya gak ada. Jadi, maafin Anya ya, Bun,"

Sinta kembali terisak mendengar ucapan Anya yang terdengar menyesal dan tulus. Sinta bukanlah ibu yang baik untuk Anya dan Sinta sadar akan hal itu.

The Reason is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang