19. Pergi

24.6K 1.9K 79
                                    

Carl menatap kepergian Anya dari pandangannya. Setelah Anya sudah benar-benar tidak terlihat, Carl membalikkan badannya dan menangkup wajah Laura yang menangis "Kamu gak papa?"

Laura menatap Carl dalam "Apa kamu belum buka hadiah yang aku kasih kemarin?"

Carl menggeleng "Belum."

Laura terisak "Anya bener, Carl."

Carl melemparkan tatapan bingung "Apa?"

"Maafin aku. Tapi, Anya bener tentang itu semua."

Carl mengerutkan keningnya "Gak mungkin."

"Aku dijodohin sama kedua orangtuaku, Carl. Itu sebabnya aku menjauh. Karena aku ingin terbiasa jauh dari kamu. Terbiasa dengan semua perjodohan itu."

"Lo..lo bohong 'kan?—"

"Laura. Ini ada apa?" Carl menoleh dan menemukan sosok laki-laki yang kira-kira seumuran dengan mereka tengah menatap Laura bingung. Dengan cepat, cowok itu berjalan mendekati Laura dan menarik gadis itu kedalam dekapannya.

Carl mengepalkan tangannya. Perasaan menyesal dan marah mulai menjalar didadanya.

Melihat gadis yang ia cintai mengkhianati dirinya begitu saja dan melihat gadis yang mencintainya pergi karenanya membuat perasaannya campur aduk. Carl berjalan mundur perlahan lalu, menjambak rambutnya frustasi.

Anya benar.

Anya benar tentang semua.

"Anya...."

*

Anya berjalan tak tentu arah. Pikirannya kosong. Hatinya hancur.

Anya hancur.

Air matanya sudah mengering dipipinya, ia sudah lelah menangis. Menangisi hal yang bodoh. Menangisi kehidupannya yang menyedihkan. Ia sudah lelah dengan semuanya. Tangannya menggenggam erat foto keluarga yang ia bawa tadi.

Kamu masih saja membela anak kamu itu?! Anak haram itu?! Kamu seharusnya sadar! Karna anak haram itu kita jadi seperti ini!!

Apa lo bisa ngelupain kejadian tadi dan anggap itu semua nggak pernah terjadi?

Apa gue gak pernah dapet kesempatan?

God! Kenapa lo gak bisa kayak Laura

 Apa cuma Carl yang ada di hati lo, Nya?

Aku ingin memiliki kebahagiaan abadi.

Anya terlalu hanyut dalam kesedihannya tanpa menyadari kalau sedaritadi kakinya memandunya ke jalan raya. Sebuah mobil sedan hitam melaju kencang kearah Anya menyebrang.

Arga berusaha mengejar Anya. "ANYA!"

Tapi, terlambat.

Suara besi beradu dengan tulang terdengar memilukan. Semuanya seperti gerakan slow motion. Ketika Arga berhasil menangkap Anya sebelum jatuh diaspal. Ketika orang-orang terkejut dan buru-buru menghampiri Anya yang tak berdaya bersimba darah. Ketika Arga untuk pertama kalinya menangis karena orang yang ia cintai.

*

Rita masih saja menangis melihat Anya yang mulai masuk UGD di rumah sakit. "Kenapa lo harus ngelamin ini semua sih, Nya?"

Arga hanya duduk terdiam. Tidak peduli kalau kemeja berwarna biru tuanya masih ada bercak darah Anya.

Suara pintu lorong dibuka kencang. Carl berjalan menghampiri Arga dan Rita dengan wajah panik "Mana Anya?"

Arga terdiam. Rahangnya mengeras melihat Carl bisa-bisanya masih menampakkan wajahnya setelah apa yang ia perbuat terhadap Anya.

"MANA ANYA, GA?!" Carl menarik kerah kemeja Arga kasar.

Arga mendorong Carl hingga membentur dinding rumah sakit. "Dia koma, Carl! DIA KOMA DAN INI SEMUA GARA-GARA LO!"

"G..gak mungkin.—"

"Apa?" Arga mendengus "Dan sekarang lo mau bilang lo menyesal? Lo menyesal atas semua hal yang telah lo perbuat?! Basi, Carl!"

"Gue—"

"Lo tau, kalau cewek yang selama ini lo anggap cengeng, lemah, dan manja itu adalah perempuan terkuat yang pernah gue kenal, Carl!" air mata Arga kembali menetes " Dia bahkan pernah mau mengakhiri hidupnya sendiri. Tapi, karena lo alasannya untuk bertahan dihidupnya yang hancur, dia berusaha kuat. Karena cuma lo alasan untuk dia bertahan..." suara Arga memelan.

Bugh.

"Tapi, kenapa lo ngehancurin dia gitu aja?!"

Bugh.

"Dan ciuman itu! Jangan pikir gue gak tau tentang ciuman itu. Apa lo gak tau seberapa hancurnya Anya ketika lo minta dia untuk ngelupain itu dan dengan mudahnya nyium Laura di depannya?! Lo bener-bener brengsek!!"

"Arga, stop!" suara Rita menginstrupsi Arga untuk berhenti melayangkan pukulan ke wajah Carl. Carl terdiam, ia tidak peduli dengan darahnya yang mengucur deras dari hidung akibat pukulan Arga yang lumayan kencang.

Arga menjauh dari Carl yang terduduk lemas. Arga tahu, Carl lemas bukan karena pukulannya tapi, karena perkataannya.

Suara nyaring yang mereka bertiga yakini dari monitor pendeteksi detak jantung terdengar. Dari jendela kaca kecil di pintu, Rita bisa melihat dokter dan para suster kewalahan. Mereka semua sibuk menangani Anya yang melemah. Air mata Rita kembali menetes, gadis itu menangis histeris melihat Anya yang terbaring lemah dengan detak jantung yang mulai hilang.

"ANYA!"

Rita menggedor-gedor pintu UGD, berusaha masuk kedalam. Arga memeluk Rita dan berusaha menenangkan Rita yang memberontak "ANYA JANGAN BERCANDA!"

"Rita..." ucap Arga menenangkan. Padahal, ia sama hancurnya seperti Rita sekarang.

Rita melemas ketika melihat tubuh sahabatnya mulai ditutup kain berwarna putih. "Anya..." Rita terisak "Bangun, Nya! Gak lucu tau gak!"

Rita terduduk di koridor rumah sakit. Matanya bertemu dengan mata Carl yang tampak meminta penjelasan. Tapi, yang Carl dapat hanyalah sebuah gelengan lemah.

Carl menutup matanya begitu mengerti apa yang dimaksud oleh Rita.

Samar-samar, Carl bisa mendengar Arga berteriak "Ini 'kan yang lo mau? Anya pergi dari hidup lo?!"

Malam itu.

Anya benar-benar pergi meninggalkan Carl.

Meninggalkan semua orang.


A/N: So, ini endingnya.
please don't hate me.
P.S: epilog next dan gue masih mau lihat renspon  kalian. Comments guys!!




The Reason is YouWhere stories live. Discover now