3. Mimpi Buruk

22.8K 2K 26
                                    

"Dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya."

Suara narator terdengar di seluruh penjuru ruangan. Lalu, disambung dengan bunyi tepuk tangan riuh. Drama kelas Anya sukses di selenggarakan. Anya bersama teman-teman yang lainnya, saling bergandengan tangan dan membungkuk memberi salam perpisahan.

Anya sempat melihat Carl duduk di kursi paling depan. Rasanya senang sekali melihat anak laki-laki itu menonton dramanya. Tapi, melihat dua kursi kosong beserta nama keluarganya membuat Anya sempat sedih dan kembali mengingat kejadian di malam itu.

Ayah dan Abangnya menjadi dingin, sedangkan Bundanya, wanita itu memilih diam.

Setelah tirai ditutup, para teman-temannya menemui orang tuanya di backstage. Ibu dan Ayah temannya banyak yang datang sambil memeluk anak mereka masing-masing dan memberi ucapan selamat.

Anya tersenyum miris. Ah, seandainya Ayah dan Bunda bisa melihat pertunjukkannya. Tapi, rasanya tidak mungkin. Mustahil terjadi.

Anya memilih cepat-cepat berganti kostum dan menunggu di tempat parkir sekolahnya sambil sesekali membalas sapaan dari teman-teman sebayanya.

Sudah lewat jam empat sore, Anya masih duduk di bawah pohon rindang di depan sekolahnya. Bahkan, parkiran sudah tidak ada kendaraan yang terparkir. Tadi, Bundanya meminta maaf karena tidak bisa menonton drama Anya dan berjanji akan menjemputnya jam dua siang nanti.

Anya diam, memeluk kakinya sendiri. Tidak punya niat sedikit pun untuk marah atau mengeluh. Pasti Bundanya akan segera menjemputnya. Ia yakin itu.

"Loh, Anya? Belum dijemput Bunda?" tanya guru Anya.

Anya menggeleng pelan "Belum Bu guru. Kayaknya Bunda lupa, deh."

"Mungkin sebentar lagi jemput. Anya mau bantu-bantu ngeberesin nggak sama Bu guru? Sambil nunggu Bunda jemput?"

Anya mengangguk dan menggandeng tangan gurunya itu. Yah, mungkin dengan membantu gurunya beres-beres akan membunuh waktu. Tidak banyak yang dilakukan Anya, hanya mengambil sampah yang berserakan di bawah kursi dan menyingkirkan kursi.

"Nah, ini hadiah Anya karena udah bantu Bu guru," wanita itu menyondorkan sebatang cokelat kepada Anya "Anya belum makan, 'kan?"

"Makasih, Bu."

Guru itu mengangguk "Ya udah yuk. Kita ke parkiran, siapa tahu, Bunda udah jemput. Ngomong-ngomong, tadi Anya acting-nya bagus banget loh. Gak sia-sia latihan setiap hati ya." gurunya tersenyum kecil sambil mengusap kepala Anya. Setelahnya, matanya menyapu parkiran. Masih tidak ada tanda-tanda Bunda Anya menjemput. Hanya ada beberapa kendaraan karyawan sekolah

"Ini sudah gelap. Mana Bunda mu?"

"Mungkin sebentar lagi, Bu. Bu guru pulang duluan aja. Anya tunggu disini."

"Bu guru antar Anya pulang ya?"

*

Anya menatap pecahan vas bunga di lantai dengan datar. Sesampainya di rumah tadi, rumahnya gelap gulita. Dengan gemetar Anya masuk rumahnya lewat pintu belakang, dan menyalakan lampu.

Anya benci gelap.

Bahkan, Anya tidak bisa membayangkan bagaimana besarnya pertengkaran kedua orang tuanya tadi ketika melihat pecahan beling dimana-mana dan bercak darah yang sudah mengering.

Anya meletakkan tas kecilnya dan hadiah kecil-kecilan dari drama nya di kursi, lalu berjongkok memunguti pecahan-pecahan kaca itu sambil terisak pelan.

Gadis kecil itu merindukan semuanya. Merindukan keluarga hangatnya. Merindukan pelukan hangat dari Ayahnya, senyuman hangat dari Bundanya, dan candaan hangat dari kedua Abangnya yang selalu mengisi hari-harinya.

The Reason is YouOnde as histórias ganham vida. Descobre agora