13. Tentang Perasaan

19.6K 1.7K 21
                                    

Suasana di ruangan itu hening. Penuh dengan kecanggungan antara lima pemuda. Mitch dan Gabriel tampak canggung sambil berusaha terlihat tenang. Brayden menaikkan sebelah alisnya sambil menatap kedua sahabatnya dengan tatapan menilai.

Sedangkan, Aiden dan Carl saling melemparkan tatapan saling membunuh satu sama lain.

"Kabar tentang kejadian di perpustakaan umum itu bukan hal yang bagus, guys. I mean, perpustakaan? Nggak ada tempat yang lebih keren lagi untuk berantem?" ujar Mitch.

"Lo sama sekali nggak membantu, Mitch." ujar Gabriel.

"Apa salahnya berpendapat? Kenapa gak di gang jalan? Kalau lo berantem di perpustakaan lo bisa bikin nenek penjaganya jantungan, terus koid!" ujar Mitch heboh.

Carl dan Aiden masih saling menatap. Bahkan, luka lebam di wajah mereka masih terlihat jelas. Keduanya melipat tangannya di depan dada.

"Dan lo, Carl, gosip tentang kejadian itu udah menyebar seluruh sekolah, bahkan ada gosip lo nonjok Anya," ucap Brayden.

"Bukan gosip. Itu beneran kok." jawab Carl datar.

Brayden, Gabriel, dan Mitch melotot mendengarnya, mulut mereka menganga tidak percaya. "HAH?!"

"Gue kalap dan tau-tau Anya di depan gue. Semua gara-gara si brengsek depan gue noh," Carl menunjuk Aiden dengan dagunya membuat Aiden memutar matanya malas.

"Siapa yang brengsek disini?" tanya Aiden. Wajahnya mengeras.

"Lo lah. Lo yang meluk-meluk Anya padahal dia gak mau, gue bisa liat sendiri kalau dia sampai nangis."

"Lo salah paham, Carl. Gue kacau saat itu. Gue bertengkar sama Azka di perpustakaan umum itu juga. Gue bener-bener nggak tau lagi. Terus gue liat Anya sendirian. Dia nangis dan sama kacaunya kayak gue." jelas Aiden.

Carl mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Hah?"

"Lemot lo anjir," ujar Mitch sambil menoyor kepala Carl.

"Emang lo ngerti?" tanya Carl balik

"Gak juga sih. Tapi 'kan ini masalah lo, seharusnya lo ngerti dong!" jawab Mitch.

Aiden berdecak sambil memijit pelan pelipisnya.

Sebenarnya Carl mengerti, tapi, ia hanya kaget. Dan bertanya-tanya, kenapa Anya bisa menangis? Padahal tadi dia baik-baik saja bersamanya.

"Jadi, Carl kenapa lo bisa sampai marah ketika liat Aiden meluk Anya?" tanya Brayden.

"Karena gue gak bakal biarin Anya disentuh sama playboy macem dia."

"Tapi, kenapa?"

"Anya adalah teman semasa kecil gue."

"Seharusnya ada alasan lain. Lo nggak mungkin segitu marahnya ketika liat teman semasa kecil lo dipeluk orang lain. Sampai-sampai lo nonjok sahabat lo dan nggak sengaja nonjok 'teman semasa kecil' lo itu."

Carl terdiam. Mulai bergulat dengan pikirannya. Ia menatap Brayden datar. Teman-temannya juga ikut diam memperhatikan percakapan antara dua pemuda itu.

"Lo adalah cowok terbodoh, Carl. Lo suka dia, lo sayang dia, lo cinta dia. Itu sebabnya lo begitu marah ketika ada cowok lain yang meluk dia." ucapan Brayden membuat Carl tercengang "Arga. Lo gak suka Arga, 'kan? Padahal, dia gak pernah punya masalah sama lo. Arga deket sama Anya. Itu 'kan yang buat lo gak suka Arga?"

Aiden berdiri dari duduknya memutuskan untuk keluar dari diskusi sahabatnya. Ia menepuk punggung Carl pelan "Jangan pernah sia-siain orang yang sayang sama lo." ujarnya sebelum meninggalkan ruangan.

The Reason is YouМесто, где живут истории. Откройте их для себя