Part 01

114K 3.2K 49
                                    

          Setelah selesai sholat berjamaah di masjid dekat rumah, aku pulang disambut dengan tangisan serta keributan.  

“Assalamualaikum.. Bi ada apa? Kok pagi-pagi udah ribut kayak gini?” Tanyaku sambil berjalan mendekati Bibi minah, asisten rumah tangga di rumahku. Bisa ku lihat mama yang menangis sambil duduk di sofa sedangkan papa sedang sibuk menelfon sambil berjalan mondar mandir.  

“Waalaikumsalam.. aduh Non.. Itu.. Mbak Niken minggat dari rumah.” Seketika itu juga aku segera berlari ke lantai dua dimana letak kamarku dan kamar Kak Niken berada. Aku masuk ke dalam kamar Kak Niken dan meletakan mukenahku diranjangnya yang rapi. Ku buka lemari bajunya dan bisa kulihat tak ada satupun helai baju didalamnya.

          Aku membalikkan tubuhku dan kulihat selembar kertas diselipkan dibawah bantal. Segera saja ku ambil surat itu dan kubuka. Ternyata surat itu adalah surat yang ditinggalkan oleh Kak Niken sebelum dia pergi. Aku bergegas menghampiri papa dan mama di ruang tamu dan menyerahkan surat itu.  

          Sesaat setelah membacanya, bisa kulihat raut kelegaan diwajah kedua orangtuaku. Mama sudah berhenti menangis dan papa mendudukkan dirinya disofa sambil memijit pangkal hidungnya. Ku ambil kembali surat yang tergeletak begitu saja dimeja dan membacanya. Kak Niken pergi karena tak ingin merelakan masa emasnya hanya karena pernikahan. Dia tak ingin dibatasi dan dikekang dari kehidupan bebasnya dan akhirnya dia memilih pergi serta menyerah atas pernikahannya yang kurang seminggu lagi dilaksanakan.  

“Pa bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai keluarga Dhananjaya marah karena Niken kabur? Mau ditaruh mana muka mama kalau sampai pernikahan ini dibatalkan? Undangan sudah terlanjur disebar, catering dan gedung pun sudah siap.”

          Raut wajah cemas dan sedih berbaur menjadi satu di wajah mama yang sedang duduk lesu di sofa. Aku mendudukkan diriku disebelah papa yang masih menutup matanya dan memijit pangkal hidungnya. Helaan nafas panjang terdengar dengan jelas dari arah papa.  

”Mau gimana lagi Ma? Kita harus tanggung akibatnya, gak mungkin juga kan kita mau nyusul si Niken ke London. Di surat itu dia ngancam kalau sampai kita berani nyusul dia kesana, anak itu bakalan kabur lebih jauh lagi.”   Selama beberapa saat kami bertiga hanya dapat berdiam diri dan sibuk bergelut dengan pemikiran masing-masing.
         
          Aku pun memutuskan untuk pergi kedapur membuatkan teh untuk papa dan mama. Mereka terlihat sangat stres dengan ulah Kak Niken dan mungkin secangkir teh hangat bisa sedikit menenangkan pkiran mereka. 5 menit kemudian aku kembali ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi 3 cangkir teh dengan asap yang masih mengepul. Kudengar mama dan papa sepertinya sedang bercakap-cakap.

  “Mama gak mau tau pokoknya Rena harus gantiin Niken untuk pernikahan ini. Mama gak mau Pa nanggung malu.”  

Detik itu juga nampan yang kupegang pun terlepas dari tanganku dan akhirnya terjatuh kelantai menimbulkan suara pecahan yang terdengar cukup kencang. Ada sedikit teh panas yang menyiram kakiku menimbulkan rasa perih dan membuat kulitku memerah. Namun, rasa sakit itu tak begitu mempengaruhiku. Aku masih tak percaya dengan ucapan mama barusan.  

“Ma.. apa yang Mama.. Maksud Mama apa? Aku menggantikan Kak Niken.. menikah?” Sambil berjalan agak tertatih aku menghampiri mama dan papa di ruang tamu.  

“Iya, ayolah bantu Mama Ren. Emangnya kamu tega mau mempermalukan orangtua kamu? Jadi anak nurut dikit kenapa? kamu tuh gak pernah ya punya keinginan buat nyenengin Mama. Bisanya cuma bikin marah Mama aja.”

  “Ma udah.. Ren maafin Papa ya sebelumnya.. tapi untuk kali ini saja bantu Papa.. Mau jadi apa nanti keluarga kita kalau sampai pernikahan ini dibatalkan begitu saja.”   Aku hanya berdiri menatap dua orang yang sangat kucintai ini. Kata-kata mereka terus saja terngiang-ngiang ditelingaku.  

“Tapi Pa.. Aku kan mau ke Paris buat kuliah fashion disana. Papa udah janji sama aku, kalau aku udah lulus D3 Interior Design disini aku bisa ke Paris buat kuliah fashion. Papa udah janji sama aku dulu.” Hanya dengan lirih sambil menatap mereka aku mengucapkannya. Aku tak tau lagi, entahlah aku bingung sekarang. Pikiranku campur aduk, antara marah, sedih dan kecewa.  

“Astaga Rena. Bisa-bisanya kamu mau nukar harga diri orangtua kamu hanya demi cita-cita gak masuk akal milikmu itu. Anak macam apa kamu itu hah?”  Mama membentakku dan berdiri dari duduknya sambil menunjukku. Aku hanya diam dan mengalihkan pandanganku ke papa yang sudah berdiri dan menatapku juga. Ayolah Pa, kumohon.  

“Maafin Papa Ren, Papa gak bisa nepatin janji Papa. Jadi kamu mau kan nurutin permintaan Papa dan Mama untuk gantiin Kak Niken menikah satu minggu lagi?”

          Bagaikan disambar petir dan diterpa badai, kata-kata papa membuatku menatapnya tak percaya. Ya Allah apalagi ini, cobaan apalagi yang kau berikan padaku. Bagaimana aku harus mengatasinya. Aku tak mungkin membantah mereka, aku tak ingin menjadi anak durhaka. Tapi aku juga ingin mengejar mimpiku. Satu-satunya cita-cita yang tersisa dalam hidupku.  

“I.. Iya.. aku.. a.. akan melakukannya.” Selesai, semuanya telah berakhir. Mimpiku telah hancur setelah aku mengucapkan kata-kata itu. Tak akan ada namanya mimpi dalam hidupku, semuanya hancur.

         Aku pun berjalan lunglai ke lantai atas meninggalkan mama yang tersenyum lega dan papa yang menatapku dengan tersenyum berterimakasih namun memandangku dengan iba dalam arti meminta maaf.

My Unplanned HusbandWhere stories live. Discover now