Part 19

28.7K 1.1K 17
                                    

Saya sedang mencoba untuk membuat genre action dalam cerita ini, semoga saja berhasil dan kalian menyukainya. Karena belum pernah membuat genre action pasti bayak sekali kesalahan dan kalimat aneh yang tak masuk akal didalamnya, mohon dimaklumi ya.. Langsung saja, selamat membaca dan ditunggu vote dan komentarnya..

--***--

Renata POV

Ini sudah hampir tengah malam, namun aku masih saja belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Sedari tadi aku masih setia duduk disamping jendela sambil menatap bulan dan Ramiro yang tengah tertidur dengan lelap secara bergantian. Dia terlihat sangat berbeda hari ini. Terlihat lebih santai dan bahagia. Aku bersyukur bisa mengajaknya kemari.

Sebenarnya aku sangat lelah tapi entah mengapa aku seakan tak ingin terlelap. Kembali ke rumah atau tepatnya kamar ini, sama saja mengulang mimpi buruk dan memperparah keadaanku. Semua terjadi disini 7 tahun lalu. Hari dimana semuanya hancur tak berbekas. Membuatku gila jika mengingatnya Tapi entah mengapa juga aku selalu saja menginap di rumah ini setiap akhir pekan.

Aku menginap di rumah ini setiap akhir pekan bukanlah tanpa sebab. Trauma itu, aku ingin melawannya. Dengan menginap di rumah ini setiap akhir pekan, aku bisa mengukur seberapa besar rasa trauma yang masih bersarang dalam tubuhku. Setelah itu aku akan melawannya, entah dengan cara apapun itu. Jika aku sendiri tak melawannya maka semuanya akan makin parah. Pemlihan selama 2 tahun tak akan berarti lagi. Aku bersyukur bisa memiliki Azka, Bunda, Arvita, Ana, Bagas dkk disampingku. Mereka seperti penyemangat dalam hidupku.

Handphoneku bergetar diatas meja yang berada tepat didepanku. Nama Azka tertera di layarnya. Sepertinya sudah cukup untuk menghindarinya seharian ini.

"KENAPA KAU KEMBALI KESANA?! KAU SUDAH GILA?!" Suaranya terdengar seperti gemuruh petir yang begitu menggelegar. Azka benar-benar marah sekaligus mengkhawatirkanku. Selama ini dia tak pernah tau jika setiap akhir pekan aku selalu menginap di rumah lamaku. Yang dia tau adalah aku menghabiskan waktuku diapartemen dengan laptopku.

"Bukankah aku memang sudah gila sejak 7 tahun yang lalu. Kau sendiri yang membawaku ke psikiater."

Terdengar helaan nafas berat diseberang telfon. Azka tampaknya begitu frustasi dengan tingkah keras kepalaku. Salahkan saja dia yang selalu saja meletakkan Dokter Rina berada disekitarku.

"Nata, aku tau kau marah padaku tentang Dokter Rina. Tapi jangan memakai cara ini untuk membalasku. Pulanglah, jangan tinggal disana. Aku tak ingin terjadi apa-apa denganmu. Jangan memaksakan dirimu Nat, aku tak ingin kau terluka barang sedikitpun."

Azka benar-benar seorang tokoh novel yang sangat diidam-idamkan kaum hawa untuk menjadi nyata. Dia laki-laki yang baik, perhatian, penyayang, pelindung, dan akan mengorbankan semua yang dia miliki bahkan nyawanya demi orang yang dia cinta. Aku sangat tau itu, ya.. sangat tau. Karena aku pernah merasakan menjadi seseorang yang dia cintai.

"Azka, semuanya akan baik-baik saja. Aku tak sendiri disini, ada Ramiro. Dan aku juga yakin kau telah mengirim sekomplotan ajudanmu untuk mengawasiku. Lebih baik kau khawatirkan dirimu sendiri. Apakah kau makan dengan teratur? Cukup istirahat? Bagaimana dengan kesehatanmu? Aku-"

"Astaga Nata, aku baik-baik saja bahkan akan sangat baik-baik saja jika kau selalu mengabariku. Entah itu hanya 1 pesan singkat berisi emoticon tersenyumpun. Aku merindukanmu disini." Ucapnya dengan nada yang semakin rendah dan menghilang diakhir kalimat. Suaranya yang serak semakin terdengar entahlah aku tak bisa mendeskripsikannya.

Pipiku memanas mendengarkan kata-kata terakhirnya tadi. Efek Azka pada tubuhku tetaplah sama sejak dulu. Aku tak bisa menampik fakta jika aku masih mencintainya dalam lubuk hatiku. Aku menyimpan rasa itu diruang khusus seperti aku menyimpan cintaku untuk Ramiro. Tak akan ada yang bisa menggantikan tempat mereka berdua dalam ruangan itu.

My Unplanned HusbandWhere stories live. Discover now