Part 02

80.5K 2.8K 31
                                    


Hening, senyap dan dingin, itulah suasana yang kuhadapi saat ini. Duduk diam dialam mobil BMW X6 berwarna hitam yang melaju dengan normal membelah keramaian kota. Entahlah, aku sendiri bingung.

Setelah keributan pagi tadi, tiba-tiba saja papa dan mama menyeretku kesebuah restoran dan mempertemukanku dengan keluarga Om Jaya. Kami-tepatnya hanya papa, mama dan Om Jaya- merundingkan masalah kaburnya Kak Niken dan kelangsungan pernikahan yang kurang seminggu lagi dilaksanakan.

Karena tak ingin menanggung malu dan pernikahan ini adalah keinginan terakhir dari istri Om Jaya yang biasa ku panggil Tante Via, akhirnya dengan segala pertimbangan dan persetujuan dari kedua belah pihak. Pernikahan ini tetap berlangsung, pernikahan Rendra Ramiro Dhananjaya denganku.

Setelah pertemuan itu, aku dipaksa untuk pulang bersamanya. Namun sejak 15 menit yang lalu, dia masih saja diam menatap lurus kedepan tanpa menoleh sedikit saja padaku.

Hal itu membuatku gugup sekaligus bingung, apakah dia merasa terbebani dengan keputusan ini? jika iya, kenapa tadi dia tidak menolaknya? Atau dia sekarang sedang menyesal dengan keputusannya? Semua pikiran nengatif menyerangku dengan membabibuta.

Otakku rasanya ingin pecah saat ini. Akhirnya kuputuskan untuk tetap diam dan melamun menatap kejendela disebelahku yang menampilkan pemandangan ramainya jalanan yang kami lewati. Namun sebuah deheman akhirnya menyeretku untuk kembali kedunia nyata.

"Bagaimana kabarmu? Sudah hampir 10 tahun kita tak bertemu.Maafkan aku jika keputusan mendadak ini memberatkanmu, tapi aku ingin kebebasan. Karena pernikahan ini satu-satunya jalan agar aku bisa mendapatkan kebebasan, jadi ku harap kau bisa bekerjasama dalam pernikahan ini."

Aku yang sebelumnya diam malah semakin terdiam. Menatap lurus kedepan sambil meremas jari-jariku yang berada diatas pahaku.

Apalagi masalah yang akan datang? Sebenarnya Kak Niken dan orang disebelahku ini tak ada bedanya, mereka mengharapkan sebuah kebebasan. Hanya saja cara mereka untuk mendapatkannya itu yang berbeda. Kupikir dia berbeda, karena jujur saja bagiku Ramiro terlihat seperti orang yang sangat pendiam, penurut dan bertanggung jawab, sehingga aku menyetujui pernikahan ini. Karena kupikir aku masih bisa mengharapkan sedikit kebahagian darinya. Ternyata pikiran itu salah, sangat salah.

"Tenang saja, aku menganggap pernikahan ini ada dan akan menganggap kau sebagai istriku dimata semua orang. Tapi jangan sampai kau melibatkan perasaanmu, aku tak bisa menerimanya dan aku juga membenci perceraian. Kau tau bagaimana aku kan, dunia malam, klub, wanita dan nafsu sudah mendarah daging padaku dan kau tak bisa melarangku. Mau tak mau kau harus menerimanya dan jangan sekali-kali meminta perceraian nantinya." Aku terus membisu, terlalu bingung untuk mengatakan apa yang ada dipikiranku.

Entahlah, didalam pikiranku hanya ada KENAPA HARUS AKU YANG MENGHADAPI INI SEMUA. Entah aku yang terlalu lama diam atau memang dia menambah kecepatan mobilnya, tiba-tiba saja kami sudah sampai didepan rumahku.

"Terimakasih sudah mengantarku, Assalamualaikum."

Saat aku akan keluar dari dalam mobil, dia menarik tangan kananku dan mendudukkanku kembali. Setelah itu merebut dompet yang kubawa dan mengambil handphoneku. Dia sepertinya memasukkan nomor handphonenya dan setelah itu mengembalikan dompet beserta handphoneku.

"Besok jam 10 tunggu aku di cafe Secret Garden, kau tau tempatnya bukan gadis pintar." Aku mengangguk mengiyakan perintahnya. Suaraku seperti hilang ditelan bumi. Mungkin karena aku terlalu shock dengan pernyataannya tadi.

My Unplanned HusbandTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon