Part 12

36.9K 1.4K 8
                                    

Hari ini saya akan mengupload 2 part sekaligus karena minggu depan kemungkinan saya tak bisa mengupload atau melanjutkan cerita ini. Tapi tenang saja, ini hanya akan berlaku sekitar 1 atau 2 minggu. Oleh karena itu hari ini saya akan mengupload 2 part sekaligus untuk menggantikan hutang saya minggu depan. Oke, sekian dari saya. Selamat membaca dan votment bagi yang ikhlas dan baik hati.

---***---

Aku mengerjapkan mataku, menahan amarah yang menguasai otakku saat ini. Berusaha dengan keras untuk meraup semua persediaan oksigen disekitarku untuk menetralkan rasa panas yang menjalar dalam tubuhku. Setelah dirasa cukup, aku pun beranjak untuk menemui semua pelayan yang sedari tadi menunggu dalam posisi yang sama. Apa mereka sebegitu takutnya hingga sepertinya tak ada yang bergerak seinchi pun. Aku berdiri tepat dihadapan mereka kemudian meneliti semua wajah-wajah yang akan mengisi hari-hariku mulai saat ini. Ku suguhkan sedikit senyumanku untuk sedikit menetralisir ketakutan mereka akibat pertengkaranku dengan Ramiro tadi.

"Ehm.. maaf jika perdebatan kami tadi membuat kalian sedikit kurang nyaman." Aku bisa melihat ekspresi kaget mereka sebagai jawaban atas permintaan maafku, apa ada yang salah dengan permintaan maafku tadi? Mengapa mereka kaget seperti ini?

"Tidak Nyonya, kehadiran kami yang menyebabkan anda kurang nyaman. Maafkan kami Nyonya." Semua orang membungkukkan setengah badannya kearahku. Mereka semua terlalu formal, ini yang kubenci jika harus menjadi istri dari seseorang yang kaku dan diktator seperti Ramiro.

"Ahh tidak-tidak. Aku malah terbantu dengan kehadiran kalian di rumah ini. Namaku Renata, kalian bisa memanggilku Renata atau terserah kalian. Jangan memanggilku Nyonya, itu terlalu berlebihan."

"Tidak Nyonya, ini peraturan dari Tuan Ramiro dan kami semua harus mematuhinya." Eva sebagai ketua pelayan menjadi perwakilan untuk menjawab keluhanku. Apakah wajahku setua itu hingga dipanggil Nyonya. Ahh terserahlah, aku sudah terlalu lelah untuk berdebat dengan mereka yang telah disetting sedemikian rupa oleh Tuan Arogan itu.

"Terserah kalian saja lah. Aku menyerah. Emm, kalian bisa kembali mengerjakan pekerjaan kalian dan ehm.. aku harus memanggil ibu siapa? Bukankah sangat tidak sopan jika memanggil ibu dengan nama tanpa embel-embel apapun?" Kataku pada Eva yang sedang menundukkan kepalanya. Eva sepertinya sudah berumur sekitar 40 tahun, itulah sebabnya aku tak berani memanggil namanya tanpa embel-embel ibu ataupun yang lainnya.

"Anda bisa memanggil saya Eva, Nyonya."

"Oke, E-Eva tolong antar aku ke kamarku ya. Aku lelah. Mulai hari ini mohon bantuannya ya semua." Mereka hanya menyunggingkan sedikit senyum kemudian berjalan meninggalkanku bersama Eva di ruangan ini.

Eva membawaku ke lantai 2, di lantai 2 ini terdapat 4 ruangan dan ruang keluarga yang dilengkapi dengan LCD TV yang menggantung indah di dinding. Selain itu, beranda yang memanjang dari ujung keujung menjadi pelengkap keindahan rumah ini. Eva membukakan sebuah pintu kayu berwarna coklat kemudian mempersilahkanku untuk masuk. Sepertinya ruangan itu adalah kamar yang akan ku tempati.

Kamar dengan dinding bercat warna abu-abu dilengkapi dengan sebuah ranjang kinq size bersprei biru dan hitam tepat di tengah-tengah ruangan, sebuah lukisan abstrak campuran warna biru, hitam dan merah menggantung dengan indah didinding tepat diatas kepala ranjang. Selain itu terdapat sebuah almari dengan banyak laci berwarna hitam yang terletak di dinding sebelah kiri ruangan, diatasnya menggantung sebuah lukisan abstrak berwarna hitam dan putih. Kamar ini begitu menampilkan sisi maskulinnya, namun entah mengapa suasana nyaman juga begitu mendominasi didalamnya. Karpet bulu berwarna abu-abu yang menjadi alas ruangan juga menambahkan kesan hangat.

My Unplanned HusbandWhere stories live. Discover now