part 3: Dave's Fever (revisi)

155K 7.9K 88
                                    

Hana terbangun dan tidak menemukan Dave di sampingnya, padahal ini masih pukul 6 dan biasanya Dave baru selesai mandi. Menangis rupanya telah membuat Hana tertidur dan tidak mengganti pakaiannya dulu.

Ponsel Hana tiba-tiba berdering. Tangannya mencari-cari ponsel di dalam tas anyam yang semalam ia bawa. Sesaat setelah ia akan menyentuh ikon gagang telepon hijau itu, panggilannya terputus. Ia menemukan empat missed call dan tiga sms masuk. Semuanya dari Niken.

Han, lo di mana?

Han, tadi Dave ke sini ya? Rafa udah nyeritain semuanya ke gue. Maaf ya Han, gue gak tau kalau bakal kayak gini.

Han, lo gak kenapa-kenapa kan? Pokoknya kalau besok gue nemuin lo lecet setitik pun, gue gak bakal ngebiarin Dave hidup tenang.

Sms dari Niken membuat Hana segera membalasanya karena takut terjadi salah paham.

Gue nggak kenapa2 Ken. Dave nggak nyentuh gue kok. Lo tenang aja.

Hana mendapati dirinya tampak sangat buruk dari pantulan cermin di kamar mandi. Aksi tangisnya semalam sukses membuat kantung mata Hana membengkak.

Setelah mandi, Hana segera bersiap untuk pergi kuliah. Jadwalnya memang siang, tapi ia sudah bosan untuk diam di rumah sendirian. Buku tulis, buku praktikum, juga laptop.

Hana melangkah turun untuk bersarapan sebelum berangkat. Kemudian berjalan menuju ke dapur dan melihat Dave yang masih tertidur di atas sofa di ruang tengah yang memang bersebelahan dengan dapur. Dave bertelanjang dada, hanya memakai celana piyama.

Ada banyak camilan yang berserakan, juga kaleng-kaleng soda yang tergeletak begitu saja di meja dan lantai. Beberapa camilan terjatuh di sekitar perut Dave.

"Dave...."

"Dave...." Hana memanggilnya kembali karena Dave belum juga bangun.

"Dave, kamu nggak kerja? Bangun, Dave, nanti kamu kesiang—Dave, ya ampun." Hana memekik mengetahui suhu tubuh Dave yang panas saat ia menyentuh lengan Dave. Kemudian tangannya beralih menyentuh dahi Dave.

Tangan Hana menepuk pelan pipi Dave. "Dave, kamu sakit? Dave, bangun...."

Dave melenguh panjang saat tidurnya terganggu. "Kenapa sih, Han?" Suaranya terdengar parau.

"Kamu sakit, Dave. Tidur di kamar ... aku bakal beresin ini dan masak sup buat kamu."

Dave melirik jam dinding yang tergantung di belakang tempat Hana berdiri. Kemudian beralih kepada Hana yang sudah tampak rapih dengan tas jinjingnya. "Kamu mau berangkat kuliah, kan? Udah, aku bisa ngurus diriku sendiri. Kamu berangkat aja."

"Aku bisa bolos untuk hari ini. Kamu sakit, dan nggak ada orang lain di rumah ini."

"Han, jangan ngebantah. Aku bayarin kamu kuliah, bukan buat bolos kaya gini."

"Dave, kalau kamu keberatan buat bayarin uang sekolahku, aku bisa kok biayain diriku sendiri. Tolong, Dave, kamu lagi sakit. Biarin aku ngurus kamu sampai sembuh." Kata Hana bersikeras.

"Hana! Kamu mau membantah aku?! Denger ya, kamu nggak usah sok-sok bisa untuk biayain diri kamu sendiri. Kalau kamu emang bisa, buat apa kamu nyetujuin perjodohan bodoh ini? Aku tahu kamu cuma butuh harta aku, iya kan?"

"Dave...." Suara Hana bergetar, dan matanya sudah berkaca-kaca.

"Kamu nggak usah berlaga baik. Aku bakal ngasih uang sebesar apa pun tanpa kamu bertindak sok peduli kayak gini."

Hana menahan air matanya agar tidak tumpah. Ucapan Dave Kali ini benar-benar menusuk. Setiap kata yang ia ucapkan seolah-olah mendeskripsikan bagaimana Dave menganggap Hana sebagai wanita murahan yang hanya tergiur akan harta Dave. Terlebih lagi, alasan Mama Hana menjodohkan mereka adalah karena perusahaan orangtua Hana yang sudah diujung tanduk itu semakin menggambarkan betapa Hana yang murahan. Hanya mengangguk saja ketika mereka dijodohkan agar terhindar dari kurangnya materi.

Nobody's Like YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang