Part 30 : The Truth (revisi)

111K 4.6K 110
                                    


Empat minggu sudah Hana habiskan waktunya untuk menenangkan diri atau yang lebih tepatnya menghindari diri dari masalah yang ada di hadapannya. Musim kemarau telah berganti menjadi musim hujan dan tempat itu termasuk tempat yang paling sering diguyur hujan saat sedang musimnya.

Dalam ruangan yang tidak terlalu besar itu, Hana sering menghabiskan waktunya untuk berpikir terhadap apa yang ia alami. Semua orang terasa bersekongkol untuk membodohinya. Dalam pikirannya juga ia telah berpikir bahwa hanya ada satu orang yang sama sekali tidak berusaha membodohinya atau bahkan untuk berencanapun tidak sempat. Niken. Sahabatnya , teman yang paling bisa mengerti dirinya.

Tapi ternyata tidak. Niken terkesan membodohinya walapun ia tidak pernah merasa berbuat seperti itu. Ia masih ingat kunjungan terakhir Niken satu minggu lalu. Saat itu Hana masih terpukul atas kembalinya ingatannya dan kejadian-kejadian apa saja saat sedikit ingatannya sedang hilang.

"Lo sedih, gue juga, Han. Sekarang orang tua lo cemas karena lo udah dua minggu gak balik ke Jakarta. Gue gak bisa nenangin mereka, kalimat gue udah gak mempan untuk mereka. Mereka Cuma mau lo pulang." Satu minggu lalu, Niken terduduk setelah berbaring di atas kasur Hana.

"Gak bisa. Gue gak mau mereka minta gue buat tetep sama dia. Gue takut mereka tetep minta gue untuk sama dia lagi setelah ini." Sesaat setelah Hana meninggalkan rumah orang tua Dave, memang saat itu Hana sudah bertekad untuk tidak memanggil nama Dave secara gamblang dan diganti dengan 'dia' mulai saat itu. Niken selalu keceplosan memanggil Dave bukan sebagai 'dia' di minggu pertama . setelah hampir tiap kali Niken menyebut Dave dan melihat Hana yang tiba-tiba diam, barulah Niken sadar bahwa nama itu sudah pantang untuk dikatakan disetiap obrolan mereka.

"Tau dari mana mereka bakal begitu? Gue kasian ngeliat mereka sedih karena lo minggat. Dan gue gak bisa pula untuk bilang dimana lo saat mereka nanya, Han. Ayolah, atau seenggaknya lo bisa nginep di rumah gue kalau lo emang ingin banget menghindari keluarga lo." Kata Niken.

"Nanti, Niken." Kata Hana lelah telah berucap kalimat ini untuk yang ke enam kalinya dalam kurun waktu dua minggu.

Niken menghela napas,"Mau sampe kapan kayak gini terus?"

"Sampai gue siap ketemu mereka. Sampai gue punya kekuatan untuk bisa nolak kemauan orang tua gue kalau mereka minta gue tetep jadi istri dia." Jelas Hana.

"Hana, lo gak bisa kabur terus. Udah tiga minggu lo minggat dari rumah. Dan lo gak bisa kabur dari masalah ini." Niken merubah posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Hana yang sedang duduk di tepian ranjang.

"Lo pikir gimana rasanya jadi gue, Ken? Gue malu sama dia karena gue udah bersikap luar biasa menjijikkan ke dia. Gue manja ke dia, gue marah ke dia, gue ngajak ngobrol dia seakan-akan gak ada apa-apa. Gue menikah sama dia gara-gara urusan finansial. Dan dia punya cewek, Ken. Gue harus ngapain? Gue malu sama dia karena udah ngerebut hidup manisnya sama cewek itu. Gue ngerecokin hidup mereka dan dia ninggalin ceweknya kerena gue. Karena urusan finansial itu." Hana menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tangisannya terjatuh mengaliri kedua pipinya.Niken berpindah dari posisinya menjadi duduk di sebelah Hana. Memeluk Hana berharap bisa menenenangkannya.

Niken menjadi panik melihat Hana lagi-lagi menangis. "Maafin gue. Gue gak mengerti lo. Maaf." Niken mengusap punggung Hana.

Niken melepas pelukannya, memaksakan hana untuk tidak menutupi wajahnya lagi lalu menghapus air mata yang masih bersisa di pipi-pipi Hana.

"Gue mau cerita sama lo. Gue harap setelah lo tau, lo gak akan ngerasa serendah itu lagi. Sebenernya gue gak ada hak untuk cerita, tapi.. sekarang beda keadaannya. Gue gak bisa liat lo repot mikirin semua ini." Niken menarik napas sambil memikirkan kalimat yang sangat tepat untuk menceritakan ini semua.

Nobody's Like YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang