00 : Sayap Milik Adista dan Devara

30.2K 1.6K 65
                                    

"Papa mana, Ma?"

"Baru aja berangkat."

Seragam putih abu Dista yang rapi berbanding terbalik dengan air mukanya yang mendadak kusut. Setelah meletakkan ransel cokelatnya di kursi, gadis itu memakai cardigan merah mudanya sambil memperhatikan sarapan pagi ini. Ada setumpukan sosis dan roti bakar mentega, serta telur orak-arik kesukaan Dista yang masih hangat.

"Kak Ridha dan Papa sama aja, nih. Tiap kali dibuatin sarapan selalu absen. Kenapa bisa barengan berubah jadwal gitu, deh? Mereka nggak janjian ngecewain Mama, kan?" gumam Dista setelah meneguk segelas susu.

Yosa, Mama Dista, tertawa. "Ya nggak mungkin lah, sayang. Kamu ada-ada aja."

"Mama hebat banget bisa tahan banting. Kalau aku jadi Mama nih, mungkin udah nangis mulu dan cemberut karena sering ditinggal terbang."

Yosa hanya tersenyum menanggapi ucapan anaknya. "Udah, cepetan abisin sarapannya. Katanya mau berangkat bareng Bagas?"

"Nggak jadi, Ma. Ternyata pagi ini dia ada Pendalaman Materi."

"Yaudah nanti Mama anterin."

.

.

.

Deva berhenti tepat di ambang pintu ruang makan ketika melihat ayahnya tengah menyesap segelas kopi hitam. Pandangannya langsung mengarah pada pintu utama, ingin langsung berangkat tetapi ingat kalau ibunya ada di dapur. Ketika mata anak dan ayah itu bertemu, Atma menegur setelan Deva yang tampak berantakan padahal masih pagi hari.

"Dev, coba itu bajunya dimasukin. Jangan dikeluarin kayak preman."

Deva mengangguk. "Iya, nanti dimasukin, Yah."

"Sarapan dulu, biar belajarnya fokus," sahut ibunya ketika sadar anaknya sudah siap berangkat sekolah.

"Nanti aja Bu, di kantin."

Fina menghela napas menyadari Deva yang akhir-akhir ini sulit diajak kumpul di meja makan. Sepertinya Deva tidak diet, lalu kenapa dia sering melewati jam makan? Sebenarnya Fina berharap suaminya akan ikut membujuk Deva untuk sarapan, tapi nyatanya ia asik dengan koran paginya. "Yaudah Ibu bawain bekal aja, ya. Kamu sampe sore, kan?"

"Ibu, nggak usah, beneran," Deva mengambil tangan ibunya dan mengecup cepat. "Deva nggak akan makan sembarangan. Nanti makan di warteg sebelah sekolah juga jadi. Atau nggak nasi rames di kantin. Oke?"

"Jangan makan mie ayam mulu, ya."

"Iyaaa," sahut Deva cepat kemudian salim pada ayahnya sebelum meninggalkan rumah.

.

.

.

"Duh, Mama, Dista telat deh ini." Dista kaget memperhatikan jam tangannya yang jarum panjangnya tepat di angka sebelas. "Bentar lagi jam tujuh..."

"Mobil Mama juga nggak bisa terbang, Dis." Yosa ikut kesal pada kemacetan akibat kecelakaan lalu lintas. "Kamu naik ojek aja, ya? Di sana ada pangkalan ojek tuh."

"Yaudah Dista pergi ya, Ma."

Disa berpamitan setelah melihat pangkalan ojek tak jauh dari tempat mobilnya terjebak kemacetan. Padahal tinggal sedikit lagi sampai sekolah, tetapi kalau jalan kaki pasti akan memakan waktu lama. Sialnya, tepat ketika Dista akan melambaikan tangan untuk memanggil tukang ojek, bahunya ditabrak seseorang hingga ponsel di genggamannya terjatuh.

"Duh, hati-hati dong kalau jalan," gerutu Dista.

Laki-laki yang menabrak langsung meminta maaf, menjulurkan tangan hendak mengambil ponselnya yang juga terjatuh. Tetapi, ia terpaku ketika melihat dua benda persegi panjang berwana putih yang sama persis di permukaan tanah. Ketika Deva hendak mengambil ponsel sebelah kanan, tangannya kalah cepat. Dista tanpa ragu memilih salah satunya kemudian melesat dengan tukang ojek yang ternyata cepat tanggap setelah ia memanggil satu kali.

"Bener punya gue nggak, nih?" Deva membolak-balikkan ponsel hingga menekan tombol kunci dan sadar kalau milik mereka tertukar. "Sialan. Bakal panjang urusannya kalau Shira nelpon dan dia ngangkat." Deva malas kalai di-ambek-in Shira, tapi bibirnya menyunggingkan senyum ketika tiba-tiba ide gila muncul di benaknya.

.....

19 September 2016. Kudatang dengan cerita baru~ hahaha. penasaran, nggak?

DisvawingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang