16 : Emosi

5.5K 623 69
                                    

Just another lesson to be learned

Gotta move on and not lose faith

Just another obstacle to take

Live my life before it gets too late

I won't give up

I won't stay down

This is what life's worth living for

(Life's worth living for)

I still believe in love

.

I Still Believe In Love by Jenny Hyun

.

Dista tersenyum lebar melihat ada pemberitahuan tag dari Bagas di Instagram. Cowok itu memosting foto mereka berdua tanpa caption. Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari minggu, Bagas mengajaknya nonton berdua. Apakah itu kencan? Dista ingin menganggapnya seperti itu, tapi nyatanya dia tak ingin melambungkan harapan. Dia cukup senang dengan hubungan mereka yang sekarang.

"Lukas ikut nggak?" Riana bertanya begitu Dista sibuk dengan ponsel.

Kening Dista berkerut. "Ya enggaklah, gue mau ngomong pribadi sama Deva."

"Yaaah," Riana mengeluh kecewa. "Padahal gue pengen lihat secara langsung jam tangan itu cocok apa enggak pas dipake Lukas."

"Cocok kok cocok," gumam Dista acuh tak acuh sembari membalas pesan.

Riana mengintip layar ponsel Dista. "Kalian jadi deket, ya?"

"Siapa?" Dista melihat bibir sahabatnya menggesturkan nama Deva. "Ah, enggak. Biasa aja. Gue sama dia memang ada urusan yang harus diselesaikan."

"Apa?" Riana penasaran. Tapi saat Dista nyengir dan meminta maaf, Riana paham. "Ya udah. Tapi kalau ada yang bisa gue bantu, bilang aja ya."

"Riana memang yang terbaik!" sahut Dista disusul acungan jempol.

Setelahnya, Dista langsung berpamitan karena Deva sudah sampai di gerbang sekolah mereka. Sebenarnya Dista ingin bertemu di tempat janjian, tapi berhubung cowok itu punya urusan di dekat sekolah Dista, jadi sekalian saja dijemput. Lucu sih, melihat anak-anak sekolahnya menggosipi Deva tepat di depannya. Cowok itu lagi-lagi menjadi pusat perhatian, sama seperti waktu pertama kali ia datang menukarkan ponsel mereka.

"Cowok-cowok di sekolah lo kayaknya kurang memadai semua, ya?"

Dista mengernyit mendapat sapaan aneh. "Rasa-rasanya makhluk di depan gue ini abis mendapat semburan percaya diri."

"Ah, mungkin bagi lo ada satu orang," Dista mengikuti arah pandang Deva. Ada Bagas tengah mengeluarkan motornya dari parkiran. "Sayangnya, dia sangat sulit dijadikan pacar."

Bibir Dista memberengut sebal, menendang tulang kering Deva.

"Selalu aja ngomong hal nggak penting," ucapan Dista tumpang tindih dengan rintihan Deva. "Buruan, keburu sore."

DisvawingsМесто, где живут истории. Откройте их для себя