03 : Layaknya Maneken

10K 922 34
                                    


Kita sadar ingin bersama

Tapi tak bisa apa-apa

.

Sambil memainkan pensil mekanik diantara bibir atas dan hidung, Dista membayangkan wajah Shira yang cemberut sepanjang acara. Kejadian itu sudah terjadi sekitar seminggu lalu, tetapi Dista masih saja memikirkannya. Dia melompat sejenak dari kursi beroda di kamarnya dan menuliskan sebuah nama di dalam buku catatan. Nama dan karakter baru, yang tercipta dari rasa kesal karena tatapan menuduh Shira. Setelah mengangguk puas akan tokoh barunya, Dista membuka laptop dan mencari lomba kepenulisan di internet. Tetapi, matanya tertumbuk pada tanggalan digital dan segera membuka suatu halaman.

Pemenang Cerita Pendek Bertema 'Suara Dari Hati'

Jantung gadis itu berdebar kencang membaca judul tersebut karena tanpa sadar melambungkan harapan kemenangannya cukup tinggi. Matanya bergerak perlahan, mencari namanya di dalam kolom-kolom yang mengumumkan 50 orang pemenang. Sampai akhirnya ia mendesah kesal.

"Gue kalah lagi!" sesalnya, kemudian memendam wajah diantara lipatan tangan sambil menendang-nendang apapun yang disentuh kakinya. Saat kelingkingnya terkena salah satu ujung kaki meja, pekikan Disa terdengar sebelum ia berjongkok kesakitan. "Ah, sial banget, sih," eluhnya seraya mengusap kelingkingnya yang kemerahan.

"Dista, kamu ngapain malem-malem teriak? Nggak enak ah didengar tetangga," tegur Yosa yang memakai daster, lengkap dengan rambut terjepit kencang agar helaiannya tak mengenai masker di wajahnya. Dia menatap Dista sambil berkacak pinggang.

"Kelingkingku kena ujung meja, Ma, sakit," ucap Dista sambil cemberut.

"Kasih minyak tawon," sarannya singkat kemudian pergi sambil geleng-geleng kepala.

Bibir Dista semakin melengkung ke bawah mendengar respons mamanya. Dia merangkak mendekati lemari berisi koleksi novelnya untuk menemukan botol kecil ampuh yang isinya selalu ia olesi ketika mendapat memar. Saat sibuk mengolesi minyak tawon di jemari kakinya, Dista mendongak dan mendapati Bagas yang tengah belajar serius. Sepertinya, cowok itu tak mendengar teriakan jeleknya. Semoga.

Mata Dista berkedip-kedip saat Bagas menoleh ke arahnya sambil memegangi selembar kertas di depan dadanya berisi kata, "Sakit?" yang dibalas cemberutan kesal. Bagas ternyata mendengar dan melihatnya kesakitan. Dan cowok itu malah mengejek. Kemudian, ia menuliskan sesuatu lagi. "Belajar sana, jangan main laptop aja."

"Kak Bagas juga belajar gih, jangan ngabisin kertas!"

Dista bisa melihat Bagas tersenyum sampai gigi kelincinya terlihat. "Besok berangkat bareng, nggak?" tanyanya, yang langsung dihadiahi anggukan kepala semangat dari Dista.

Sesaat setelah melambaikan tangan, Bagas menutup tirai kamar yang dipahami Dista sebagai pertanda konsentrasi belajar. Kamar mereka dengan sangat kebetulan, berseberangan. Dista jadi senang sekali jika menatap luar kamar. Dia bisa mengintip sedikit ke dalam kamar Bagas jika jendelanya terbuka. Kalau beruntung, gadis itu akan melihat kegiatan Bagas. Sambil tersenyum-senyum, ia melihat lomba kepenulisan yang baru. Kali ini ia hanya perlu mengirimkan outline serta sinopsis cerita. Dista tersenyum senang, karena kebetulan tema kali ini mirip dengan kisahnya; Jatuh Cinta Dalam Diam.

. . .

Dista sedang kegirangan. Pagi tadi, dia berangkat bersama Bagas dan cowok itu dengan baiknya memberi satu roti lapisnya ketika Dista bilang kesiangan sehingga tak sempat sarapan. Dan sekarang, kelasnya pulang lebih cepat karena ada rapat guru. Tetapi meski begitu, saat Dista bertemu dengan Bagas, dia bilang tidak bisa pulang bareng karena ada kelas tambahan.

DisvawingsWhere stories live. Discover now