27 : Alasan dan Izin

4.6K 622 73
                                    


Dista manggut-manggut menghapal rumus. Mereka berempat—ada Riana dan Lukas—tengah belajar di perpustakaan sejak sekolah usai. Empat jam lalu. Sekarang Riana dan Dista sudah menjadi senior, dan sebagai perayaan tersebut salah satu gurunya berencana memberi kuis di pertemuan selanjutnya. Menyenangkan sekali.

Lewat ekor mata, Dista bisa melihat Lukas gemas mengajari Riana yang tak kunjung paham. Selagi pacarnya memandang nanar, Riana membalas dengan senyum manis bak malaikat. Membuat Lukas luluh dan mengembangkan senyum. Melihat keunyuan mereka menyeret perasaan nelangsa keluar dari hati Dista. Tidak menyadari Deva yang kesal karena diabaikan.

"Jangan salah fokus!" Deva memukul kepala Dista dengan gulungan selembar kertas.

Dista menatap sebal. "Sabar napa Pak Beruang, gue juga kan butuh istirahat."

"Lo butuh istirahat tiap lima menit sekali?"

"Iya!" tantang Dista, dibalas tatapan setajam pisau. "Apa? Apa? Apa?!"

"Jangan mentang-mentang besok cuma kuis, lo malah nyantai. Lo bilang guru lo hobi review soal dari kelas sepuluh sama sebelas, kan? Gue yakin nyerempet ke rumus kelas dua belas juga." Deva berceramah, membuat Dista cemberut. Cowok itu pun mendengus, membereskan peralatan tulis Dista. "Udah, kita pulang sekarang. Percuma juga kalau lanjutin belajarnya," jedanya, menatap Lukas. "Kas, gue sama Dista balik duluan."

"Yoi. Gue juga bentar lagi beres sih. Tanggung nih."

"Yaaah, Dista mau pulang sekarang?" rengek Riana. "Sepi, deh."

"Terus aku ini apa? Serpihan penghapus?" Lukas menyahut sebelum Dista, membuat Riana mencebik. "Kamu nggak boleh pulang sebelum dapet nilai seratus di latihan soal ini."

"Ih, ogah! Kamu sok rajin banget sih! Biasanya juga main game kalau mau ulangan."

Lukas geleng-geleng kepala, jemarinya mengusap-usap pipi pacarnya dengan tatapan layu. "Sayang, apa yang kudenger di kelas itu langsung masuk otak. Bisa dibuktikan dengan nilai-nilaiku yang nggak pernah kurang dari tujuh-lima. Beda sama kamu yang masuk telinga kanan keluar telinga kiri."

"Pacar kurang ajar enaknya diapain?" Riana menatap Deva dan Dista bergantian.

"Ditusuk," sahut Dista.

"Lalu dijadiin sate," tambah Deva lalu tos dengan Dista sambil tertawa.

. . .

"Trus setelah ceramah panjang lebar lo tadi, gue diajak ke bioskop?"

"Refreshing lah Dis," gumam Deva sembari menyerahkan segelas besar lemon tea.

"Horor pula." Dista mencebik.

"Lo boleh pinjem pundak gue kok kalau takut." Deva menepuk-nepuk pundaknya dengan santai. "Lengan juga boleh."

Dista tertawa. "Nggak usah modus, ya!"

"Apaan, ge-er banget bocah." Deva ikut tertawa, jemarinya menyentil kening Dista.

"Nggak apa kok kalau bener juga," bisik Dista sepelan mungkin seraya mengusap keningnya yang terasa disengat semut.

Deva melirik. "Emangnya lo mau sama cowok kayak gue?"

"Hah?" Dista menoleh kaget, mendapati Deva bersandar dan menatapnya lekat-lekat. Ekspresinya tidak terlihat jelas karena lampu teater sudah dimatikan. "Kenapa tiba-tiba?"

"Ya tadi lo bilang, 'Nggak apa kok kalau bener juga'. Apa gue salah denger?"

Dista memandang arah lain. "Gue cuma asal ngomong kali."

DisvawingsWhere stories live. Discover now