24 : Sebuah Fakta

4.9K 600 74
                                    

"Ujungnya lo makan sama gue juga." Deva menopang dagu sembari memerhatikan Dista yang tengah membaca doa berbuka puasa.

Setelah menyeruput teh manis, gadis itu mendongak. "Ya di rumah nggak ada orang. Nggak ada makanan. Kebetulan lo lagi nganggur, jadi gue ngasih kerjaan mulia ini. Berpahala loh nemenin orang berbuka puasa. Apalagi kalau sampe ngasih makanan."

"Gue pikir kondisi darurat apaan." Satu jam setelah mengantar Dista pulang, cewek itu minta tolong karena ada situasi mendesak yang berhubungan dengan hidup matinya.

"Lapar dan kesendirian adalah hal tersedih bagi gadis muda seperti gue."

"Ih, apaan." Deva tersenyum geli dan memotong daging steaknya. "Emang Mama ke mana? Kalau kakak sama Papa udah pasti terbang, ya."

"Nggak juga." Di sela kunyahan Dista mengelak. "Kak Ridha lagi fitting baju nikahan. Kalau Mama sih lagi ke rumah saudara, entah urusan apa."

"Kok lo nggak ikut?"

"Nggak ah, ngapain. Lagian Mama udah gede, bisa jalan sendiri."

Deva tertawa. "Lah masa begitu."

"Emang begitu adanya." Dista mengangguk serius.

"Udah abisin dulu. Biar kita baliknya nggak kemaleman."

Deva menghentikan ocehan Dista dengan menarik tangan gadis itu kembali ke piring. Tapi Dista malah menjatuhkan kedua tangannya di sisi piring. Memandang Deva dengan wajah serius.

"Eh bentar lagi anniversary pernikahan orang tua gue."

"Trus? Mau bikin kejutan?" tanya Deva setelah mencomot kentang goreng.

"Pesta kecil-kecilan mungkin bisa nambah keharmonisan mereka. Yang diundang temen-temen deket pas masa sekolah sama kuliah aja," gumam Dista. Tapi kemudian sorotnya berubah saat ingat siapa laki-laki di hadapannya ini.

Seperti tahu pikiran Dista, Deva bersuara. "Mau gue pastiin bokap nggak dateng?"

"Emmm." Dista ragu-ragu. Jelas. Terakhir kali Dista meminta Deva untuk menjauhkan ayahnya dari ibu Dista, cowok itu langsung menyemprotnya.

"Nggak apa. Gue juga nggak mau kok kalau bokap jadi perusak rumah tangga orang."

Kecanggungan lagi-lagi menerpa. Padahal mereka sudah lebih dekat, nyambung satu sama lain. Sayang sekali masalah ini membentuk dinding penghalang, dengan amarah yang membayangi. Siap menelan hati mereka dengan kebencian jika emosi menguasai.

Dista selalu berhati-hati dalam berbicara agar tak menyinggung Deva.

Sedangkan Deva, mencari jalan agar perbuatan ayahnya tak melukai Dista.

Tanpa sadar mereka saling menjaga satu sama lain.

. . .

"Udah gue kasihtau kan hubungi EO aja biar gampang!" Shira berkata ketus saat Dista mengeluh sulit mengurus susunan acara dan perintilan untuk anniversary orang tuanya.

"Ribet ah. Cuma pesta kecil doang, tau," sergah Dista.

"Lo yang lebih ribet. Kan bisa diomongin mau ada apa aja di pesta itu. Kalau pengen bikin kejutan buat orang tua ya jangan setengah-setengah lah. Yang bagus sekalian."

Dista memutar bola matanya malas. "Kok ngeselin sih?"

"Ya lagian ngapa minta saran sama gue kalau ngeselin?" serang Shira.

"Pesta ulang tahun lo waktu itu simpel tapi bagus. Makanya gue mau nanya ini itu."

"Makanya gue udah bilang ratusan kali, pake EO."

DisvawingsWhere stories live. Discover now