01 : Mimpi Yang Terpendam

15.8K 1.2K 75
                                    

And in this crazy life, and through these crazy times
It's you, it's you, you make me sing.
You're every line, you're every word, you're everything.

.

"Aduh gue hampir banget telat." Dista melorot di mejanya sambil dikipasi Riana, teman sebangkunya. "Lo harus tau Ri, tadi pagi gue gagal berangkat bareng Kak Bagas makanya dianter sama Mama. Sialnya, ada kecelakaan deket sekolah. Huaaa, gue nggak mau naik mobil lagi pas pagi-pagi!"

"Lo lagi ketiban sial aja itu," sahut Riana sambil memukul ringan kepala Dista.

"Riana jahaaat."

"Bodo. Elonya juga kebanyakan ngeluh." Riana tertawa meliha temannya cemberut. "Ngomong-ngomong Dis, lo berhasil nggak ngajak Kak Bagas jalan?"

"Sibuk melulu dianya. Gue udah ngajak ribuan kali, tapi dia punya alasan terus. Sebel."

"Hmm, gue agak nggak enak bilangnya. Tapi menurut gue, lo harus berhenti," ucapan Riana menimbulkan kerutan di kening Dista. Paham sahabatnya ini tidak mengerti maksudnya, ia melanjutkan. "Menurut lo, aneh nggak sih dia selalu aja nolak ajakan lo, padahal kalian tetanggaan? Sering berangkat dan pulang sekolah bareng, tapi nggak pernah bisa tiap kali diajak jalan keluar?"

"Tahun depan juga kita bakal merasakan kesibukan dia, Ri. Belajar teruuus sampe kepala berasep. Lama-lama meledak, deh."

"Adista Dafina, lo terlalu positive thinking atau memang bego?"

"Gue kan ketularan elo." Dista tidak terima dikatai bodoh, makanya menatap Riana dengan sorot datar. "Bosen ah, lu mah ngatain gue mulu."

"Dia itu udah nolak lo secara halus. Lo nggak bisa ngejar terus padahal dia lagi deketin cewek lain," Riana senang Dista mengangguk saat mendengar ucapannya, tetapi ternyata gadis itu tengah memperhatikan layar ponsel-artinya tidak mendengarkan dia secara penuh. "Woi! Gue dikacangin, sialan," semprotnya kesal karena Dista sudah ngeloyor ke luar kelas.

"Halo?" Dista menutup telinga satunya dengan ibu jari, berharap suara di seberang sana terdengar lebih jelas-mengalahkan kebisingan koridor yang ramai ketika jam istirahat. "Halo? Maaf, ini siapa, ya?" Dista tidak mengenal nomer yang memanggilnya ini.

"Lo siapa? Kenapa bisa ngangkat telponnya Deva?"

Kening Dista berkerut. "Maaf, salah sambung."

"Nggak usah pura-pura," Dista semakin bingung dibuatnya. "Cepet kasih telponnya ke Deva. Gue mau ngomong sama dia."

"Sorry, lo salah sambung."

Setelah berkata seperti itu, Dista langsung menutup sambungan. Dia tidak pernah mendapatkan salah sambung yang separah itu. Maksudnya, dengan nada ketus dan memaksa-mungkin lebih condong ke marah-marah. Baru saja ia hendak masuk ke dalam kelas, ponselnya kembali bergetar, dengan nomer yang sama.

"Awas aja ya lo, kalau ada masalah, gue nggak mau kasih solusi lagi!" tegur Riana.

"Jangan ngambek ih, cepet tua lo," sambut Dista dengan cengiran lebar kemudian meletakkan ponsel bergetarnya di atas meja. Keduanya sama-sama memandangi layar yang bergetar tiada henti selama beberapa menit terakhir.

"Kalau nggak mau ngangkat mendingan di silent aja. Berisik, sumpah."

Dista mengambil ponselnya dan mengusap layar setelah panggilan dari cewek aneh itu berakhir. Tetapi, ia langsung terkejut ketika sadar ada yang aneh. Tangannya sibuk membolak balikkan ponsel, mencari goresan di bagian bawah belakang. Tetapi, bekas jatuh dari meja belajar itu tidak ada. Ponsel ini hanya ada goresan di bagian atas dekat lubang charger.

DisvawingsHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin