08 : Perselisihan

7.1K 794 87
                                    


Kini, kutahu bila cinta tak bertumpu pada status

Semua orang tahu bia kita sepasang kekasih

Namun status tak menjamin cinta

Untuk Apa by Maudy Ayunda

.

"Ayo Deva, ayo!" Shira bejingkat-jingkat semangat memperhatikan pacarnya bergerak di atas papan Dance Dance Revolution.

Keringat yang mengucur dari dahi Deva bersaing senyum lebar miliknya. Apalagi ketika melihat lawannya, Bagas, tampak kewalahan menghadapi gerakannya yang lincah. Dentum musik yang semakin cepat seakan menaikkan kerja semangat Deva hingga kakinya menghentak keras ketika lagu berakhir. Deva tersenyum lebar melihat kemenangan ketiganya dalam satu jam terakhir. Dia menelengkan kepalanya ke arah Bagas.

"Sepertinya lo kurang berolahraga," ucap Deva sembari turun dari papan permainan.

Setelah berhasil mengatur napas, Bagas membuka mulut. "Mungkin lo yang terlalu semangat karena mau pamer sama cewek lo."

Shira terkikik geli, jemarinya mengusap peluh di pelipis Deva. "Deva emang dari dulu jago kali! Lo aja yang nggak percaya sama kata-kata gue, huuu!" sahutnya sambil menjulurkan lidah.

"Ih, bocah banget sih," gerutu Dista seraya menyerahkan tisu pada Bagas.

Bagas terkekeh cepat menanggapi ucapan Dista. "Ya, kan? Dia emang bocah banget."

"Ih kalian berdua apaan, sih! Bocahan juga elo, Dis! Jangan songong sama gue, ya," sahut Shira sebal. Benar apa yang dikatakan Shira, Dista lebih muda dari dia. Hanya setahun.

"Aduh plis Kak, umur nggak menentukan kadar kedewasaan seseorang," timpal Dista tak kalah jutek. Mereka saling tatap dengan bibir mengerucut hingga Bagas menarik tangan Dista, mengalihkan perhatiannya. Sayang, Bagas tak menatap ke arah Dista yang sudah bersemu merah karena jemarinya digenggam.

"Udah deh kalian jangan berantem. Mendingan kita istirahat dulu, abis itu makan."

Deva menyetujui perkataan Bagas dengan anggukan. Sejak tadi ia sedikit terganggu karena ucapan pedas Shira. Tetapi, Deva menahan diri untuk tak bersikap jutek pada pacarnya. "Iya, kita nggak punya banyak waktu. Kamu bentar lagi pulang kan, ke Cilegon?"

Shira berdecak sebal. "Iya, bentar lagi aku pulang. Nggak di sini lagi. Kamu seneng?"

"Loh, kok malah ngambek?" Deva mengembuskan napas setelah memutar bola matanya dengan malas. Mereka berdua berjalan agak jauh, saling debat beberapa saat sebelum akhirnya Dista melipat kedua tangannya di dada. Bibirnya bungkam, tetapi masih mengerucut kesal.

"Yok, kita makan!" teriak Deva sambil melambaikan tangan.

"Kok Deva tahan sih Kak, sama tingkahnya Kak Shira?" bisik Dista di sela langkah mereka mendekat sepasang yang masih buang muka satu sama lain. Mereka jadi berantem.

Bagas bergumam sejenak. "Menurut pengakuan Shira sih, Deva itu orangnya sabar banget dan pengertian. Mungkin karena itu dia tahan sama sikap kekanakan Shira."

"Amit-amit punya pacar kayak dia," bisik Dista sambil mengusap dada.

Bibir Bagas tersenyum lebar. "Awas loh, nanti malah dapet pacar kayak gitu."

"Aduh Kak, amit-amit tujuh turunan! Doanya jangan serem gitu, dong," ungkap Dista sambil menggosok lengan atasnya—seakan menggigil ketakutan.

"Gue tau kalian ngomongin gue. Udah, buruan. Gue laper," sentak Shira ketika Bagas dan Dista sudah berada di dekat mereka.

DisvawingsWhere stories live. Discover now