14 : Berdiskusi

5.5K 627 51
                                    

I learned to live half alive
And now you want me one more time
And who do you think you are?
Runnin' 'round leaving scars
Collecting your jar of hearts
And tearing love apart

Jar of Hearts by Christina Perri

.

Sudah berminggu-minggu lewat sejak kejadian di teras rumah Bagas. Tak ada yang berubah dari hubungan mereka. Bagas ramah seperti biasa. Setitik harapan yang sempat muncul di hati Dista tersapu oleh sikap Bagas yang masih memperlakukannya seperti seorang adik. Sungguh, harapan itu benar-benar dapat membunuhmu.

Untunglah, harapan lain yang ia gantung hampir setahun lamanya sudah dijawab oleh penerbit. Dista baru saja selesai bertemu dengan editor yang menangani naskahnya. Wanita berusia 24 tahun itu banyak memberikan saran. Terutama di bagian penegasan atas sebuah adegan dalam cerita. Apakah itu berpengaruh dalam alur sebuah cerita?

"Silakan pesanannya, Mbak," sapa pelayan setelah Dista memanggilnya.

Setelah menyebutkan pesanan, Dista memandangi sekeliling. Banyak pasangan muda di Cotton Cafe ini. Sesuai dengan namanya, cafe ini bernuansa lembut seperti kapas. Kursi-kursi dan meja kayu yang dicat senada diberi bantal kecil dipadukan dengan berbagai corak bermacam warna pastel. Dista baru pertama kali ke cafe ini, tapi rasanya sangat nyaman. Bahkan ada panggung kecil untuk perform sebuah band.

"Selamat malam, semuanya! Bertemu lagi dengan Quinnera di malam minggu yang romantis ini," setelah sang penyanyi berujar seperti itu, banyak pasangan yang bersorak senang. "Wah, Quinn nggak nyangka kalau malam ini begitu ramai. Untuk menghangatkan suasana, Quinn akan mempersembahkan lagu Marry Your Daughter dari McKnight."

Salah satu lagu favorit Dista.

Sementara vokalis memanjakan pengunjung dengan suara merdunya, Dista menyapukan pandangannya pada sekitar. Awalnya ia terpaku dengan pasangan muda, tapi matanya menetap pada sepasang paruh baya yang duduk di salah satu pojok ruangan. Jauh dari tempat Dista duduk. Mereka tampak begitu dekat. Si pria mengelus punggung tangan sang wanita dengan lembut, sambil sesekali membisikkan sesuatu. Meski wanita tersebut membelakangi Dista, gadis itu kenal betul dengan postur tubuh serta pakaiannya.

. . .

Berjarak tak jauh dari tempat Dista duduk, Deva mengepalkan tangannya melihat adegan tersebut. Ayahnya tengah bermesraan dengan wanita lain. Menggenggam tangan wanita lain. Kemarahannya memuncak saat Atma menyentuh pundak wanita tersebut dan menariknya ke dalam pelukan. Deva refleks menggebrak meja dan berdiri terkejut tak percaya.

Tak ayal, tindakannya menjadi pusat perhatian. Deva langsung membungkuk meminta maaf sambil menurunkan topi agar wajahnya tersamar. Beruntung, ayahnya tak menyadari kehadirannya karena mereka seakan tenggelam dalam dunianya sendiri. Rasanya, Deva ingin sekali menghampiri untuk menghajar ayahnya.

Ibunya yang lembut dan baik hati itu telah dikhianati? Pantas saja belakangan ini sikap ayahnya begitu romantis; tiba-tiba membelikan kalung emas!

Baru saja Deva berniat memotret kemesraan mereka sebagai bukti perselingkuhan, seseorang menghalangi kamera ponselnya. Tanpa izin, gadis itu duduk tepat di hadapan Deva.

"Dista?" tanya Deva, kebingungan.

Ekspresi Dista keras, tidak seperti biasanya. "Lo kenal sama bapak-bapak yang pake jaket biru tua di pojokan itu? Yang lagi berduaan sama ibu-ibu."

Bibir Deva masih terkatup rapat, menunggu penjelasan selanjutnya.

"Sejak lo heboh gebrak meja, gue merhatiin elo. Mata lo nggak lepas dari pasangan itu," suara Dista agak bergetar, jemarinya saling meremas diantara tangannya yang terkepal. "Kalau lo tahu siapa bapak-bapak itu, gue berterima kasih banget."

DisvawingsWhere stories live. Discover now