Hopeless

4.2K 363 42
                                    

  
  
  
Author POV
  
   
"Apa?!"

Kinal buru-buru membungkam mulut Shania. Meski berada dalam ruangan kerjanya, suara Shania masih dapat terdengar oleh beberapa karyawan di luar sana.

"Bisa pelan-pelan gak sih Nju!"

Sekertaris muda itu masih menatap atasannya tak percaya. Baru saja Kinal menceritakan kejadian terbongkarnya hubungan Veranda dan dirinya yang diketahui oleh orangtuanya. Kali ini Kinal hanya berani bercerita pada Shania saja, bahkan sampai sekarang Veranda tak mengetahui apa-apa.

"Jadi itu yang buat pak Deva selama ini diemin kak Kinal meskipun di kantor?"

Kinal mengangguk lemas. Ia kembali duduk di kursi besarnya dan menaruh kepalanya yang terasa berat pada meja. Tentu saja Shania merasa iba, namun ia bingung. Sulit untuk membantu Kinal keluar dari masalah, dan yang lebih parahnya Shania akan mudah kehilangan pekerjaannya apabila ikut memberontak pak Deva.

"Jujur aku bingung harus bantu apa kak."

"Gak perlu Nju, cukup dengerin cerita gue aja itu udah ngebantu gue."

Baru saja Shania ingin membuka kembali mulutnya, pintu ruangan Kinal sudah terbuka hingga menampakkan sosok pria paruh baya yang masih berpostur tegap dengan penuh wibawa. Buru-buru Shania membungkukkan sedikit badannya untuk memberi hormat. Kinalpun juga tergesa berdiri merapikan pakaiannya lalu berjalan ke samping mejanya.

"Tolong tinggalkan kami berdua."

"Baik pak."

Ruangan besar berisikan bapak dan anak itu terasa canggung. Kinal masih saja berdiri menautkan kedua telapak tangannya menjadi satu sambil menunduk. Menunggu-nunggu apa yang ingin dibicarakan ayahnya yang lama tak menyapa.

"Waktu satu minggu sudah cukup lama untuk kamu memikirkan ini."

Pria itu berjalan ke arah kaca, kedua matanya melihat kendaraan yang padat dibawah sana.

"Jadi, apa jawaban kamu Kinal?"

Buliran-buliran keringat membasahi keningnya, meski ac di ruangan ini cukup dingin. Tak menyangka ia jika ayahnya akan menagih jawaban secepat ini. Tapi bagaimanapun juga, Kinal sudah memiliki jawabannya. Jawaban yang akan selalu sama sampai kapanpun.

"Kinal mencintai Veranda, dan tidak akan berpisah."

Sontak kedua mata pak Deva mendelik pada putrinya. Sungguh anak yang keras kepala.

"Baiklah jika itu mau kamu. Maka papa sendiri yang akan menjauhkan dia dari kamu!"

Kaki itu hendak berjalan keluar, namun Kinal menahannya dengan kedua tangan yang melingkar di lutut ayahnya.

"Kinal mohon pa, jangan lakuin itu. Jangan sakiti Veranda, sakiti Kinal aja. Kinal cinta sama Veranda pa, Kinal gak bisa hidup tanpa dia."

Dengan beruraikan air mata hingga tubuh yang bergetar sambil merangkul kaki sang ayah, Kinal masih tetap memohon. Apapun akan ia lakukan, meski harus dengan mengemis seperti ini.

Bukannya tersentuh, pria itu malah merasa muak dengan segala ucapan Kinal yang mengelu-elukan Veranda atas nama cinta. Ia ambil tumpukan map diatas meja, lalu ia pukul-pukulkan map tebal itu pada punggung putrinya.

Tak ada rasa ampun, murka begitu menguasai akal dan pikiran. Semakin keras pukulan yang Kinal terima semakin keras pula permohonan keluar dari bibirnya. Seperti buta akan segalanya, tak perduli jika berada disebuah kantor dengan banyak manusia diluar ruangan sana. Pria sabar itu berubah.

Kedua tangan yang merangkul itu terjatuh tanpa tenaga namun kedua matanya masih tetap mengeluarkan cairan bening. Sedangkan pak Deva tengah mengatur nafasnya naik turun, dan melemparkan map itu ke sembarang tempat.

Something Happened in LombokWhere stories live. Discover now