Bagaimana Bisa

3.3K 355 90
                                    

    
    
  
Author POV
    
     
   
     
Wanita cantik memiliki tahi lalat di dagunya itu berjalan dengan cepat, ia setengah berlari di koridor kantor. Ditangannya tergenggam erat surat kabar yang baru saja ia dapatkan. Tepat di depan ruangan atasannya, wanita itu membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu.

"Apa maksudnya ini kak Kinal!"

Ia taruh dengan kasar surat kabar tersebut di meja atasannya. Sebuah berita tentang pertunangan dari dua anak pengusaha besar, terpampang jelas disana wajah Kinal dan Brahm yang tersenyum manis.

"Shan.. Lo harus dateng ya?"

Dahi sekertaris itu berkerut. Tak mungkin Kinal menyetujui hal penting ini begitu saja.

"Kak Kinal setuju?"

"Sudah ku bilang berkali-kali. Aku sudah gila."

"Tapi gak gini caranya kak. Kak Kinal gak cuma ngelukain diri kak Kinal sendiri, tapi juga pasangan kak Kinal nantinya."

Shania berusaha membuka pikiran Kinal untuk memilih segala sesuatunya dengan matang. Memang benar kata sekertaris yang berumur dua tahun lebih muda dari Kinal. Namun semua sudah terlanjur.

"Lalu gue harus gimana? Apa gue harus mati biar semua selesai?"

Shania berusaha menyangkal, namun Kinal telah berdiri dari kursinya.

"Semua berkas udah gue cek, gue pergi dulu."

"Kak Kinal mau kemana?"

Gadis itu tersenyum sejenak "ke tempat yang biasa orang bertunangan butuhkan."
     
    
     
     
   
Brahm dengan sigap membukakan pintu mobil untuk calon tunangannya. Ia genggam lembut tangan putih Kinal sepanjang mereka berjalan. Seolah tak ingin melewatkan hal manis sedikitpun. Hingga tibalah mereka di sebuah toko perhiasan.

Brahm terlihat sangat sibuk memilih banyak cincin yang begitu indah tertata rapi didepannya. Namun tidak dengan Kinal, ia hanya mengangguk dan tersenyum saat Brahm menanyakan pendapatnya.

"Ini pengeluaran terbaru dari toko kami." Ucap salah satu pegawai yang menyodorkan 2 pasang cincin dengan bandrol harga selangit.

"Apa kamu suka?"

"Ya, bagus." Lagi-lagi kata itu yang meluncur di mulut Kinal.

Brahm mengambil telapak tangan Kinal, ia pasangkan cincin indah itu di jari manisnya. Bukan main indahnya, cincin berwarna perak itu tampak selaras dengan kulit putih Kinal. Ukurannya juga sangat pas, seolah takdir memang ingin segera menyatukan keduanya.

"Baiklah, saya pilih yang ini."
     
    
    
****
     
    
     
Di lain tempat, Veranda masih dengan kesehariannya bekerja dan bekerja. Seperti tak ingin menikmati kesenangan selain bekerja. Dalam pikirannya, bekerja dapat melupakan apapun. Kebohongan yang ia bangun hampir satu bulan ini seperti terlupakan perlahan, asal ia terus menyibukkan diri.

Tapi jangan tanyakan perihal perasaan. Sampai hancurnya dunia pun, hatinya hanya milik satu gadis. Gadis bodoh yang dengan mudahnya percaya akan semua kebohongan yang ia perbuat.

Veranda menghentikan gesekan pensilnya jika tiba-tiba wajah manis bergingsul itu muncul begitu saja dalam pikirannya. Sangat sering seperti ini, lalu Veranda akan memijat keningnya dan menyesap kopi hitam yang belakangan ini menjadi teman baiknya.

Tangannya tergerak mengambil surat kabar yang tergeletak di tepi meja. Barangkali dengan membaca dapat membuat mood lebih baik. Satu persatu berita berhasil membuatnya tertarik untuk membaca lebih lanjut. Namun naas, pada halaman berikutnya terpampang jelas foto Brahm dan Kinal disertai berita yang sukses meremukkan dadanya seketika.

Something Happened in LombokWhere stories live. Discover now