- TAMU-

7.7K 272 7
                                    

Di puncak gunung Pasir Eurih, pagi itu matahari bersinar dengan cerahnya. Sekolah dasar yang terletak di puncak tertinggi bukit dan hanya memiliki tiga ruang kelas itu sudah mulai ramai, tapi di ruang guru, gedung yang terpisah dari ketiga ruang kelas, hanya ada Mei-mei seorang diri. Dia sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini. Hampir setiap hari dia bolak balik mengajar enam kelas seorang diri. Satu kepala sekolah hanya datang sesekali. Lima guru honorer juga datang hanya jika mereka mau. Satu guru olahraga tak pernah muncul batang hidungnya. Meski kewalahan dengan keadaan itu, Mei-mei tetap berusaha menikmatinya, episode hidupnya sedang seperti ini.

Berbulan-bulan lalu, Mei-mei yang saat itu sedang tenang mengajar di sebuah SDIT di kota berbeda, dipanggil pulang kedua orang tuanya untuk mengikuti tes penerimaan PNS di kabupatennya dan dia lulus. Bingung harus sedih atau bahagia, Mei-mei menerima takdir itu dan terasing di gunung terpencil dekat Baduy, meninggalkan sahabat-sahabatnya, toko buku favoritnya, perpustakaan favoritnya, sepeda tersayangnya, jalan-jalan kota dan semua bagian di kota lamanya, yang semua disukainya. Rindu pada mereka terkadang tidak dapat ditahan sampai-sampai Mei-mei sering menangis di penghujung malam, meminta diberikan seorang sahabat, pengganti sahabat-sahabat lamanya. Dia butuh seorang sahabat yang setia mendengar keluh kesah dan kerinduannya, yang mampu menguatkan dirinya dan membantunya tegar. Tertawa bersamanya dan menangis menemaninya, dia rindu sahabat-sahabat lamanya. Dia memang memiliki ponsel, tapi di gunung terpencil ini sinyal sulit ditangkap, harus lelah-lelah mencari dulu baru ketemu, jadi dia tetap tidak bisa menghubungi teman-temannya. Dia merasa seperti dibuang dan diasingkan dari kehidupan lamanya yang dicintainya, karena itu dia sering menangis di sujud-sujud dan doa-doanya.

Ramadhan sudah dua minggu berlalu, tadi malam Mei-mei sahur hanya dengan susu dan biskuit, jangan harap ada makanan lengkap di sini. Tidak ada warung sayuran meskipun lokasinya di puncak gunung. Lagipula dia tinggal menumpang di rumah salah seorang tokoh, mana mungkin dia mengharap santap saur seperti di rumah. Sudah ada yang mau menampungnya saja sudah alhamdulillah.

Pagi itu dia sengaja menjemur dirinya di depan ruang guru, di halaman. Sambil jongkok dia merenungi mimpi tadi malam. Mimpi yang sangat indah.

Dalam mimpi itu dia berjalan di sebuah taman bermandi matahari namun teduh. Rumpun bunga-bunga terhampar di seluruh jarak pandang mata. Kupu-kupu beterbangan di sekitarnya. Banyak akar-akar pohon beringin yang menjuntai ke bawah di seluruh bagian taman, tapi anehnya berkesan indah dan mistis, mengagumkan. Mei-mei terus melangkah sambil menikmati pemandangan itu dengan hati bahagia. Di bagian ujung taman, dengan permukaan lebih tinggi, ada sebuah pendopo dengan gerbang putih berukir yang sangat indah, seseorang di sana melambaikan tangan ke arahnya, menunggu kedatangannya. Langkahnya membawanya ke sana meski dia tidak tahu sosok itu siapa.
Sosok itu meraih tangannya dan meletakkan sebuah perhiasan emas berbentuk ular melingkar sebesar kelingking. Sampai di telapak tangannya perhiasan itu hidup dan menggeliat. Reflek Mei-mei menepis perhiasan itu sampai jatuh ke tanah. Sosok itu memungut perhiasan itu kemudian memasukkannya langsung ke kantong baju Mei-mei.

"Ini untukmu" ujarnya. Lalu mimpi berakhir.

Kriiiing...kriiiing...

Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Antara merasa ajaib dan kaget karena ponselnya menangkap sinyal, Mei-mei menjawab telpon itu.

"Halo, assalaamu alaiku, bu Mei?" Panggil suara dari seberang.

"Ustadz Hilman?" Jawab Mei-mei heran. Ada apa gerangan ustadz hilman menelponnya? Mereka sudah berbulan-bulan putus komunikasi.

"Kok tahu ini saya?" Tanyanya

"Dari suaranya"

"Oh.." terdengar tawa dari suaranya.

"Begini, besok insyaAllah saya mau ikut ifthor (buka puasa) di rumah bu Mei. Bu Mei bisa pulangkah?"

"Oh, insyaAllah bisa, ustadz. Besok, kan?"

"Iya. Bu Mei pulang ya.."

"Ya, ustadz. InsyaAllah saya pulang"

"Jangan enggak pulang"

"Iya, insyaAllah.."

"Yaudah kalau gitu. Yuk, assalaamu alaikum"

"Waalaikum salam warohmatullah wabarokatuh"

Mei-mei mencubit pahanya, memastikan kalau itu bukan mimpi. Selama berbulan-bulan sejak dia keluar dari kota lamanya, di sms teman-teman lamanya saja tidak pernah, apalagi ditelpon. Eh ini guru ngajinya menelponnya, Mei-mei senang bukan main. Ternyata dia tidak benar-benar dilupakan.

Berhari-hari yang lalu, waktu dia berkunjung ke rumah orang tuanya di kampung halaman, ibunya bilang padanya bahwa ada dua orang datang ke rumah menanyakannya. Bertanya apakah dia sudah ada yang melamar atau belum, kalau belum mereka meminta agar jangan menerima lamaran dari siapapun dulu karena mereka mau balik lagi untuk melamarnya.

Mei-mei menebak-nebak, apakah yang waktu itu? Pikirnya.

Jodoh Di Bulan RamadhanWhere stories live. Discover now