-BISIKAN DOA-

5.9K 228 3
                                    

Sampai benar-benar malam, semua tamu dan kerabat sudah pulang, Mei merebahkan tubuhnya di kasur. Nyaman rasanya. Ponselnya berdering. Siapa yang meneleponnya malam2 begini, teman yang mau kasih ucapan selamatkah?

"Halo.."

"Halo.."

Mei melihat layar ponselnya

Ya ampun, dia lupa kalau sudah punya suami.

"Udah nyampe asrama?"

"Udah. Lagi ngapain?"

"Rebahan"

Setelah setengah jam ngobrol dengan canggung, tak tahu harus memanggil dengan sebutan apa, Rasyid bertanya.

"Mau dipanggil apa?"

"Mmm...ade aja"

"Ade? Kan usianya lebih tua dua tahun"

"Kan udh jadi istri, masa mau manggil mba ato teteh?"

"Iya ya. Yaudah, ade. Terus aku dipanggil apa?"

"Mas aja"

"Kenapa mas?"

"Karena sudah sejak SMP punya cita-cita kalo punya suami manggilnya mau mas"

"Oh..."

Begitulah, kali pertama mereka ngobrol hanya lewat telepon, sampai satu jam, ponsel dan telinga sudah sama-sama panas. Jam dua baru mereka bisa tidur.

***************
Seminggu kemudian, Rasyid pulang sementara dari diklat pada akhir pekan.

Rasyid langsung menuju kampung di pegunungan sekitar Baduy. Pengalaman yang berkesan baginya, baru kali ini dia menempuh perjalanan yang benar2 tak terbayangkan. Naik ojek sejauh 30 KM, kemudian menyeberang jembatan gantung dengan ojek sepanjang 500 M, lalu memasuki kampung kuno, membelah hutan karet licin dengan akar bertebaran tertutup tanah liat, menyusuri hutan, mendaki bukit berbatu, menyusuri tebing di pegunungan setinggi ratusan M dari permukaan tanah. Akhirnya sampai di sebuah rumah sederhana. Di depannya ada dua pohon jambu air. Ada bengkel dan warung kecil di sampingnya. Istrinya menunggu dengan senyum.

Benar-benar perjuangan. Hanya untuk bisa bertemu dengan istrinya. Sampai di kamar, Rasyid menyerahkan 2 bungkus pembalut titipan Mei.

Ia masih ingat tatapan heran kasir saat dia membeli pembalut itu. Dia tidak tersinggung, wajahnya memang tampak terlalu muda untuk usianya. Semua orang yang bertemu dengannya pasti mengira dia masih sekolah SMP atau paling mending, masih sekolah SMA. Dia tidak pernah memusingkan pikiran orang.

Setelah menyimpan barang bawaan, segala macam oleh-oleh, Mei mendudukkan Rasyid di kasur. Rasyid mengambil tasnya dan mengeluarkan album foto. Mereka belum pernah bicara tentang keluarga besar, jadi ini saat yang tepat untuk memperkenalkan keluarga meski hanya lewat foto.

Rasyid menunjuk satu persatu orang di foto dan menjelaskannya dengan sabar.

Yang kurus tinggi hitam tersenyum simpul, itu adiknya.

Yang rambutnya panjang, tersenyum lebar, itu paman pertamanya.

Yang kurus tinggi hitam agak mancung, itu paman keduanya.

Begitu seterusnya Rasyid memperkenalkan keluarga besarnya melalui foto. Berharap suatu saat ia bisa membawa istrinya pulang ke Jawa timur untuk bertemu keluarga besarnya.

*********************************
Mereka duduk berdampingan di kursi besi alun2 kota Serang. Rimbun dedaunan pohon asam menaungi mereka dari sinar matahari pagi yang mulai menyengat.

"Jadi, ustadz yang waktu itu ke rumah ade bareng ustadz Hilman, itu ustadz siapa?" Mei ngemut es krim kacang hijau yang dibawakan Rasyid.

"Oh, itu mas Dodik. Temen sekantor mas, murobbi juga" Rasyid menyodorkan es krimnya ke arah Mei. Mei menggigiti bagian coklatnya karena Rasyid tidak suka coklat.

"Oh...emang berteman dekat sama ustadz Hilman ya? Soalnya rasanya kaya gak asing sama mukanya" ucap Mei setelah menghabiskan coklat di es krim Rasyid.

"Sepertinya, soalnya sering kelihatan bareng"

"Emang ustadz Dodik itu rumahnya dimana?"

"Di Nurul Fikri, Cinangka"

"Ya ampun, jauh amat dari Cinangka PP ngantor ke sini"

"Ada jalan lebih deket kok, lewat Ciomas"

"Pernah ke sana?"

"Pernah. Waktu itu pas lagi longsor di sana. Jadi banjir. Mas sama temen-temen bantu2 di sana"

Mei teringat sesuatu. Ia tampak merenung. Kalau tidak salah, saat dia outbond ke Nurul Fikri waktu itu, itu setelah kejadian longsor juga. Ia ingat betul karena air danau di sana coklat dan orang sana bilang habis longsor dan banjir.

"Rumah ustadz Dodiknya yang dari bilik bambu, bukan?"

"Ia"

"Yang depan rumahnya ada danau buatan?"

"Ia. Kok tahu?"

"Ade pernah kesana waktu masih ngajar di yayasan. Outbond guru2. Mas berenang juga di danau itu?"

"Ia, bentar"

"Flying fox?"

"Enggak. Kan mas takut ketinggian"

"Oiya.."

Mei teringat kejadian pas dia selonjoran kaki setelah berenang menyeberangi sungai kecil. Ustadz Hilman dan ustadz Dodik lewat. Saat itu hatinya melirihkan sebuah doa yang ternyata sudah Allah kabulkan.

"Maa sya Allah..subhanAllah..Allaahu Akbar.." lirih Mei merasa takjub.

Rasyid menjengit heran.

"Kenapa?" Tanyanya.

Mei tertawa.

"Waktu outbond di sana ade istirahat di rumput pinggir jalan. Ada ust Hilman dan ust Dodik lewat. Ade berdoa dalam hati 'ya Allah, tolong kasih aku murid ustadz itu tuh, satuuuu aja' eh, terkabul ternyata. Padahal ade cm berdoa dalam hati loh..Allah Maha Mendengar, kan?" Mei tersenyum menatap langit dengan penuh takjub.

"Iakah?"

"Masa pake kata satuuuu aja. Kaya minta kacang aja"

Mei nyengir.

Jodoh Di Bulan RamadhanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora