Two

5.4K 262 1
                                    

Sherlyn terduduk lemas di atas sebuah bangku besi panjang di taman sekolah. Ia berusaha mengatur napasnya sendiri, tetapi tetap saja terasa sesak. Sherlyn kembali menyeka air matanya dengan kasar. Dia sudah tidak peduli lagi dengan tatapan-tatapan bingung murid-murid Smanusra yang melihatnya melangkah cepat menuju taman samping sembari menangis sesenggukan. Bahkan seorang guru yang berpapasan dengannya tadi saja tidak ia hiraukan.

Sherlyn kembali teringat Vigo. Entah mengapa hatinya sakit sekali saat Vigo berkata seperti tadi. Ya, ia sadar akan kesalahannya. Ia juga tahu Vigo pasti sangat kecewa dengannya. Namun, apa tega lelaki itu berkata setajam itu padanya? Sherlyn menggelengkan kepalanya kuat-kuat, kembali terisak.

Dan tanpa disadarinya, Vigo sudah berdiri tepat di hadapannya. Lelaki berwajah 'songong' itu hanya terdiam menatap datar gadis yang disayanginya menangis karenanya. Perlahan, walaupun penuh dengan keraguan, tangan kanan Vigo terangkat, menepuk lembut puncak kepala Sherlyn. Sherlyn menengadah, sedikit kaget dengan keberadaan Vigo yang tiba-tiba di hadapannya.

"Gak usah nangis lagi," begitu ucapnya. Lelaki itu menarik kembali tangan kanannya, menatap Sherlyn dalam. "Ngomong."

"Hiks, lo bilang gak ada lagi yang harus diomongin kalo topiknya Kak Devon," balas Sherlyn dengan suara paraunya. "Gue ngaku salah, Go. Gue nyesel."

Vigo terdiam. Entah mengapa ia kembali memanas ketika mengingat kejadian itu. Apalagi akhir-akhir ini, jika diperhatikan, Devon suka sekali berlalu-lalang di depan kelasnya Sherlyn dan sesekali mencuri-curi pandang ke dalam kelasnya. Siapa lagi yang ia cari kalau bukan Sherlyn? Baik Sherlyn maupun Devon selalu tersenyum lebar tiap kali keduanya tak sengaja berpapasan.

Dan Vigo tahu itu semua. Ia melihat semuanya. Ia selalu mengawasi Sherlyn, bahkan ketika gadis itu tidak menyadarinya, Vigo selalu ada di sana.

"Iya, gue tau. Udah, gapapa kok. Gue pusing, gak usah diperpanjang lagi." Hanya itu yang bisa Vigo katakan saat ini. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya ingin Sherlyn berhenti menangis, berusaha tidak peduli lagi soal Devon maupun kejadian itu.

Sherlyn terbelalak ketika Vigo berkata demikian. Gadis itu bangkit, menatap Vigo dengan serius, walau air mata masih tetap menggenangi pelupuk matanya. "Lo tau, kan, kalo gue sayang sama lo?" Vigo hanya mengangguk pelan. "Lo tau, kan, kalo lo cuma punya gue dan gue cuma punya lo?" Vigo kembali mengangguk. "Jadi seharusnya lo juga tau, dong, kalo gue gak mungkin 'jatuh' ke cowok lain, termasuk ke Kak Devon?"

"Gue gak bilang begitu. Gue gak bilang lo bakal suka ke Devon-"

"Dan gue juga gak bilang gue suka sama Kak Devon, Go. Gak bakal. Lo lebih dari dia bagi gue, lebih dari siapa pun. Dan akan tetap begitu, Vigo."

"Gue cuma takut kalo seandainya lo akhirnya 'jatuh' beneran ke dia. He treats you way better than I." Vigo berkata lirih. Entah bagaimana bisa ia sejujur ini sekarang. Ia selalu menahan dirinya apabila melihat Sherlyn dekat dengan lelaki lain, karena ia selalu berusaha untuk berpikir positif. Para lelaki yang dekat dengan Sherlyn hanya temannya, tidak lebih. Itu juga karena Sherlyn adalah gadis yang supel dan gampang bergaul dengan orang lain. Semua orang senang berada di dekatnya, termasuk Vigo sendiri. Dan entah mengapa, untuk sekarang, ia sama sekali tidak bisa terima melihat Sherlyn yang terlihat mulai dekat dengan Devon, kakak kelasnya. Ia tidak bisa berpikiran positif sama sekali. Otaknya penuh dengan hal ini semenjak kejadian itu, dan itu membuatnya merasa amat lelah, amat kesal.

Sherlyn mendesah berat, tidak percaya dengan kata-kata Vigo. "Oh my God, Vigo ... kenapa lo bisa mikir begitu? Lo lebih daripada dia. Gue sama dia gak ada hubungan apa-apa, cuma kayak adek kelas dan kakak kelasnya, Vigo, sama kayak yang lain. Gue gak akan beralih. Kenapa lo gak percaya sama gue?"

EXDove le storie prendono vita. Scoprilo ora