Thirty

2.3K 123 2
                                    

"Gue sayang dia, Lice," potong Vigo cepat, membuat kedua mata Alice terbelalak lebar. Gadis itu tahu pasti Vigo masih memendam rasa kepada Sherlyn, namun ternyata mendengar pengakuannya langsung dari lelaki itu lebih membuatnya sakit. Vigo sendiri terpaksa berkata demikian walaupun kata-katanya memang benar adanya. Ia geregetan sekali dengan Alice yang keras kepala dan pantang menyerah seperti ini. "Oke, gue ngaku, gue gak bisa move on dari Sherlyn, sama sekali. Dan untuk kesekian kalinya gue minta maaf sebesar-besarnya sama lo, karena gue gak bisa maksain diri gue untuk—"

Vigo terkelu seketika. Ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Bukan karena ia sengaja melakukannya, namun karena ia memang tidak bisa. Alice—entah apa yang ada di pikiran gadis cantik itu, ia menarik kerah mantel Vigo dan mendekatkan wajahnya ke wajah Vigo, memaksa lelaki itu agar sedikit merunduk dan langsung menabrakkan bibirnya dengan bibir lelaki itu. Vigo sangat terkejut, tentu saja. Namun ia berusaha untuk setenang, sesabar, dan sedatar mungkin. Vigo mengatupkan bibirnya dengan rapat, tidak berminat sama sekali membalas ciuman Alice.

Karena Alice tidak mau melepasnya, akhirnya Vigo mengangkat kedua tangannya dan menyentuh kedua bahu Alice, serta menjauhkan tubuh gadis itu darinya sehingga ciumannya pun terlepas begitu saja. Vigo menatap Alice dengan wajah memerah—bukan karena malu, namun karena ia marah. Bisa Vigo lihat setitik air mata yang keluar dari mata Alice.

"Lice, gue bener-bener marah ya sekarang. Gue gak suka kalo lo—ah, shit. Sumpah, gue marah banget sama lo," Vigo buka suara setelah sekian lama mereka hanya saling diam. Alice sedikit bergidik menatap wajah Vigo yang bertambah sangar akibat mati-matian menahan emosi. Menakutkan. Harusnya gadis itu tidak mencari masalah dengan Vigo.

Namun Alice tidak peduli. "Gue sayang sama lo, Go. Gue tau gue egois. Gue mau sama-sama lo. Gue pengen lo jadi milik gue doang. Gue begini karena lo, Vigo."

"Damn it! Apa-apaan sih lo? Lo gila? Lo sadar gak sih apa yang udah lo lakuin? Fuck," balas Vigo, mengumpat tertahan. Ia menekan suaranya serendah mungkin namun terkesan dingin dan menusuk. Ia bisa saja membentak Alice sekarang, namun ia tahu diri. Ini sudah malam, dan perbuatannya dapat mengundang perhatian orang lain.

Alice menggeleng. Tangisannya mulai pecah. "Gue gak bisa liat lo deket sama mantan lo, Go. Gue gak bisa nahan ini lebih lama lagi. Gue gak bisa—"

"Selama ini gue selalu ngelindungin bibir gue dari cewek manapun ya, Lice," potong Vigo. Ia benar-benar geram dengan gadis macam Alice. Ia jadi menyesal karena dulu sempat menilai Alice adalah gadis baik-baik.

Alice terbelalak mendengar kata-kata Vigo. "H-hah—"

"Bahkan saat gue dan Sherlyn masih pacaran, gue sama dia sama sekali nggak pernah ciuman. Gue selalu nahan diri gue, itu karena gue mau ngelindungin dia, gue gak mau ngotorin dia sebelum waktunya. Tapi sekarang? Lo yang jelas-jelas bukan siapa-siapa gue, berani-beraninya ya lo ngotorin bibir gue yang masih suci dan yang paling parah ngotorin diri lo sendiri? Hah, gue kira lo cewek baik-baik. Gak nyangka gue," Vigo berkata panjang-lebar. Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya kini terdengar sangat kejam dan sarkastik. Vigo benar-benar marah.

"Vigo, bukan gitu—"

"Udah berapa cowok yang lo rasain bibirnya, hah?" Vigo sepertinya benar-benar tidak ingin mendengar penjelasan Alice lebih lanjut. Ia berkali-kali memotong ucapan gadis itu. Ia sama sekali tidak terima Alice melakukan itu padanya. Mungkin sekarang ia terlihat seperti seorang wanita yang baru saja dilecehi pria, namun ia tidak peduli. Ia benar-benar tidak terima. Alice pikir dia siapa bisa seenaknya melakukan hal itu padanya?

Sementara itu, Alice makin terisak, tidak menyangka Vigo akan mengatakan hal sekejam itu padanya. "Go, gue ngelakuin itu karena gue sayang—"

"Itu hawa nafsu, Alicia. Bukan sayang." Skakmat. Alice terdiam. Lidahnya kelu. Tenggorokannya terasa kering mendengar kata-kata Vigo. Vigo menggeleng tak percaya, kemudian segera memutar tubuhnya, hendak pergi dari sana.

EXWhere stories live. Discover now