Twenty

2.4K 101 0
                                    

"Sherlyn! Tunggu, She!" Vigo berlari-larian menyusul Sherlyn yang sudah berjalan cepat, agak jauh darinya. "Sherlyn, dengerin gue dulu! Sherlyn!" Sherlyn mendengar teriakan Vigo di sepanjang koridor rumah sakit, sampai beberapa perawat menegurnya karena dianggap terlalu berisik. Namun Vigo tidak peduli, ia tetap menyerukan nama Sherlyn.

Sherlyn mendengarnya, namun ia tidak peduli. Ia menepis air mata yang jatuh di pipinya dengan kasar. Ia memasuki lift, dan pintunya menutup dengan cepat. Vigo terdiam, menatap wajah kecewa Sherlyn yang penuh dengan air mata dalam lift tersebut sebelum pintunya tertutup rapat. Lelaki itu mengacak rambutnya frustrasi, kemudian memutar otaknya dengan cepat. Pandangannya teralih ke tangga rumah sakit. Ia segera berlarian menuruni anak demi anak tangga, berharap-harap cemas tidak kehilangan Sherlyn di lantai bawah.

********************

Tepat saat Vigo menginjakkan kakinya di lantai 1, Sherlyn keluar dari lift dan berjalan cepat, keluar dari rumah sakit. Vigo kembali mengejarnya. "Sherlyn! Sherlyn, She—tunggu dulu! Tunggu dulu, She," dan akhirnya Vigo berhasil menggapai tangan Sherlyn, menahan langkah dan gerakannya untuk menghentikan taksi di pinggir jalan. Sherlyn terus menangis, ia memberontak, berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman Vigo terlalu erat. "Dengerin gue dulu gue bilang. Please."

Sherlyn menghembuskan napas beberapa kali, berusaha mengontrol dirinya sendiri. Ia menatap Vigo dengan tajam. "Apa-apaan yang tadi itu, hah?"

"She—"

"Harusnya gue nggak ngelakuin ini. Ini bukan kemauan gue, ini udah berlebihan."

"She ... oke, gue minta maaf," Vigo—dengan napas yang sedikit ngos-ngosan, berbicara lirih pada Sherlyn. "Gue kehilangan kendali tadi di kamar mama. Gue gak bisa nahan diri gue sendiri. Sorry."

Sherlyn menggeleng. Ia terus menangis, membuat orang-orang yang melewati mereka memandang heran. "Lo sadar gak sih, gue udah punya Devon, Go."

"Gue tau, tapi—"

"Harusnya gue nggak ke sini. Harusnya gue nggak setuju begitu aja sama permintaan lo. Demi Tante Rania lo bilang? Hah, lucu."

"She—"

"LO KETERLALUAN, OKE?!" sentak Sherlyn. Emosinya meluap seketika. Ia semakin terisak, susah-payah mengatur napasnya sendiri.

"Sherlyn—"

"Jangan temuin gue lagi. Jangan bicara sama gue lagi. Ngerti?" Sherlyn memandang Vigo tajam. Nada suaranya tak kalah tajam dari tatapannya. Tenggorokan Vigo tercekat. Ia kehabisan kata-katanya. Sherlyn menatap paper bag di tangannya, kemudian menyerahkan paper bag itu dengan kasar kepada Vigo. Vigo menatap paper bag itu, menerimanya dengan ragu. "Happy birthday sekali lagi."

Dan setelah itu, Sherlyn langsung menyetop taksi yang kebetulan lewat dan memasukinya, meninggalkan Vigo yang hanya berdiri mematung di sana. Lelaki itu memandang paper bag berwarna merah marun di tangannya. Ia membukanya, mengeluarkan isinya. Sebuah jaket bomber berwarna ungu muda yang sangat cerah, hampir putih malah. Ia memandang jaket di tangannya itu dengan nanar. Warna jaket ini cerah sekali. Sherlyn selalu memberinya berbagai barang berwarna cerah. Seperti syal berwarna peach yang ada di rumahnya, yang selalu menemaninya tidur di malam hari.

Vigo menggeram tertahan, mencengkeram jaket itu kuat-kuat. Baru saja ia ingin balik badan—kembali ke rumah sakit, ponselnya bergetar di saku celana. Ada telepon dari Raka. Vigo langsung mengangkatnya.

"Go, darurat, Go!" terdengar suara panik Raka dari ujung sana.

Dahi Vigo mengernyit. "Darurat apaan?"

EXМесто, где живут истории. Откройте их для себя