Three

5K 229 0
                                    

Sudah 3 hari Sherlyn putus dengan Vigo, namun kesedihannya belum juga menghilang, bahkan berkurang. Ia semakin kacau akhir-akhir ini. Ia tidak bisa bertemu ataupun sekadar menatap Vigo yang biasanya terlihat bercanda-ria di sepanjang koridor kelas 10 ataupun di kantin bersama keempat sahabat dekatnya. Kinta pun sudah tahu tentang hal ini. Tidak, bukan hanya Kinta. Hampir seluruh murid di Olympus High School mengetahuinya. Berita tentang putusnya Sherlyn dan Vigo cepat menyebarnya. Dan Sherlyn tidak peduli lagi terhadap gadis-gadis sekolah yang kegirangan akan berita ini, karena mereka memang mengincar Vigo sejak lama.

Sudah 3 hari ini pula Sherlyn dan Vigo sama sekali tidak bertegur sapa. Dan Sherlyn merasa seakan-akan ada yang hilang dari dirinya setelah putus dengan Vigo. Sejak kemarin, kesedihan itu terus-menerus menyelimutinya.

Seperti sore di hari Minggu yang cerah ini, contohnya. Sherlyn duduk di atas kursi grand pianonya, melantunkan melodi yang sedih dari sana. Vina, ibunya yang akrab dipanggil dengan sebutan 'Bunda' oleh anak-anaknya maupun orang lain yang sudah mengenalnya, menatap heran ke arah putri keduanya itu, yang entah mengapa akhir-akhir ini selalu muram. Bahkan kemarin-kemarin, Vina sempat melihat Sherlyn menangis diam-diam di kamarnya saat ia ingin mengajak anaknya itu makan malam, namun Vina belum sempat menanyakan alasan Sherlyn mengapa ia menangis karena Vina tahu mood anaknya itu sedang tidak begitu bagus belakangan ini.

"Sayang..." Vina mendekati Sherlyn, mengelus lembut rambutnya. Sherlyn menoleh, tersenyum tipis, menghentikan permainan pianonya. Ia mengelus punggung tangan ibunya dengan lembut pula. "Kamu kenapa? Bunda perhatikan akhir-akhir ini kamu murung terus."

Sherlyn menghela napas lelah. Vina memang belum tahu-menahu soal putusnya hubungan Sherlyn dengan Vigo.

"Cerita aja, Sayang. Kamu bakal ngerasa lebih baik daripada dipendam sendirian. Bunda gak suka ngeliat princess Bunda yang paling cantik murung seperti ini," bujuk Vina lembut. Kekhawatiran nampak terdengar jelas dari suaranya yang menenangkan. Sherlyn tersenyum dipaksakan mendengar kata-kata ibunya itu, berusaha sekeras mungkin agar air matanya tidak tumpah.

Namun nyatanya, Sherlyn tidak sekuat itu di hadapan ibunya.

Sherlyn mengulurkan kedua tangannya, memeluk tubuh Vina erat, sebelum akhirnya menangis sesenggukan di pelukan Vina, mengeluarkan seluruh keluh kesahnya. "Elyn putus, Bunda ... hiks, Elyn putus sama Vigo ... hiks, hiks, huaaaa-aaa...."

Butuh waktu yang cukup lama bagi Vina untuk mencerna perkataan Sherlyn yang amat pelan dan bergetar, sebelum akhirnya ia mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, mengerti mengapa Sherlyn selalu murung belakangan ini. Vina mengelus kepala Sherlyn, menenangkannya. "Siapa yang minta putus, hm? Kenapa kalian putus?"

Sherlyn mengatur pernapasannya sebelum menjawab pertanyaan Vina. "Vigo ... Vigo yang minta putus, Bunda. Elyn gak mau putus, tapi Elyn gak bisa tetep pacaran sama Vigo kalo Vigo-nya gak mau. Ceritanya panjang, Bunda. Elyn ngelakuin sebuah kesalahan yang bikin Vigo marah sama Elyn."

Vina menghela napas, mengusap punggung Sherlyn dengan penuh kasih sayang. "Kalo begitu ... itu berarti Vigo bukan orang yang tepat buat Elyn."

"Tapi Elyn sayang Vigo, Bunda," elak Sherlyn, menatap wajah Vina dengan kedua mata besarnya yang indah, yang memerah dan penuh dengan air mata.

Vina tersenyum hangat. "Sayang gak selamanya harus bersama, Lyn. Sayang gak seegois itu." Sherlyn terdiam, mencerna kata-kata ibunya. "Bunda kira anak Bunda udah dewasa, karena udah ngerti yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Tapi ternyata, anak Bunda belum dewasa sama sekali, karena belum bisa menyikapi perpisahan kalian dengan baik. Elyn tetep little princess-nya Bunda yang manja dan cengeng."

Sherlyn menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Elyn sedih, Bunda..." ucapnya lirih, hampir tidak terdengar. Vina menangkup kedua pipi Sherlyn, tetap tersenyum hangat, menatapnya dengan tatapan lembut khas seorang ibu.

EXWhere stories live. Discover now