Prolog

326 21 6
                                    

Sore hari yang mendung di langit Jakarta, dan angin seperti dikejar setan. Starbucks di ujung jalan itu terasa seperti ruang berteduh yang hangat karena pantulan cahaya dari lampu halogen. Alunan musik natal yang diaransemen berbeda terdengar di seluruh penjuru ruangan kafe, berulang-ulang.

Bulan Desember, musim hujan kembali datang. Seharusnya, dibanding duduk santai sambil menikmati kopi atau panini di kafe ini, orang-orang lebih baik menyiapkan diri, dan segera membenahi rumah. Di kota ini musim hujan selalu berarti dua hal; menyejukkan, atau banjir. Dan perihal banjir, kata itu selalu mengantar banyak istilah untuk berbagai masalah. Dan macet, merupakan salah satunya.

Ketika itu, matahari sudah berada di langit barat sekalipun keberadaannya tertutup kumulus nimbus yang berarak sedari subuh tadi. Jarum jam sudah menunjuk angka lima. Jalanan yang macet, dan udara yang tidak begitu bersahabat membuat kafe itu kini dipenuhi banyak pengunjung, yang didominasi oleh pekerja kantor yang baru saja selesai bekerja.

Tempat itu sangat riuh.

Namun ada satu sudut di dekat jendela, di bangku yang diduduki oleh seorang gadis dan seorang laki-laki yang sedang berhadapan, suasananya terasa begitu sunyi. Keduanya sibuk dengan minumannya masing-masing tanpa saling memandang, merasa terjebak di situasi yang buruk dan tidak bisa keluar.

Cuaca sore ini memang buruk, namun aura di sekeliling dua orang itu terasa dua kali lipat lebih buruk. Ada badai kecil di sudut kafe tersebut, yang meskipun tidak tampak, orang bisa dengan mudah merasakannya.

Si laki-laki tiba-tiba berdiri seraya berkata sambil menatap manik mata si perempuan yang kini menengadah, menatapnya dengan tatapan murka. "Ini menghabiskan waktu. Aku harus pergi." Tanpa menunggu jawaban lawan bicaranya, dia dengan cepat berbalik, dan melangkahkan kakinya.

"Oke," jawab si wanita setengah berteriak, membuat si laki-laki untuk beberapa saat menghentikan langkahnya, namun tidak sampai menoleh. "Jangan pernah berpikir untuk kembali," lanjut si wanita dengan suara parau.

Si laki-laki mengedikkan bahunya, lalu menoleh dengan malas. "Sesukamu sajalah." Dia kembali berbalik, melangkahkan kakinya ke arah pintu, dan berlari kepelataran parkir menerjang hujan, meninggalkan perempuan yang kini tengah mengepal tangannya sendiri, memberi bekas tanda bulan sabit pada telapak tangannya. []

Hujan Bulan DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang