Bab 10

55 9 2
                                    

Jakarta 2014

Hari itu Jumat, dan matahari sudah hendak sembunyi di langit barat. Ketika cahayanya memberkas lembayung jingga keunguan yang membias di kaca gedung, Arian terlihat tengah berjalan menuju lantai dua belas hendak menemui Rendra. Ini sudah lewat dari jam kerja, namun Arian tahu bahwa temannya itu mempunyai kebiasaan pulang jam delapan malam dari kantor untuk menghindari macet.

"Rendra ada?" Tanyanya pada seorang wanita yang tengah memunggunginya, tengah membenahi berkas-berkas dokumen di meja kerjanya yang cukup berantakan, ketika ia baru saja membuka pintu utama di lantai dua belas itu.

Spontan, setelah Arian menanyakan hal tersebut pada satu-satunya pekerja yang masih berada di kantor pada jam ini, wanita itu menoleh sambil membetulkan untaian beberapa helai rambutnya yang jatuh bebas dari kening pada pelipisnya, lalu menyelipkannya di belakang telinga. Refleks, ketika wanita itu melihat siapa yang baru saja mengajaknya bicara, ia dengan cepat-cepat membenahi diri, dan membungkuk hormat menyapa Arian. Dan Arian hanya membalas dengan satu ulasan senyum.

"Pak Rendra hari ini berhalangan hadir Pak," ucap wanita itu masih dengan nadanya yang sopan namun terdengar lantang. "Beliau sakit," lanjutnya lagi.

"Sakit?" Arian mengulang ucapan wanita tersebut sambil memasang wajah sedikit terkejut. "Sakit apa?" tanyanya lagi khawatir.

"Demam. Tapi saya khawatir beliau terkena tifus pak, ini sudah satu minggu dan demamnya masih belum turun," jawab wanita itu lagi.

Mendengar jawaban wanita itu tiba-tiba membuat Arian mengerutkan keningnya. "Satu minggu? Bukannya Rabu kemarin dia masih ke kantor?" tanya Arian lagi semakin bingung, ketika ia ingat berpapasan dengan Rendra di lift ketika jam makan siang.

"Beliau baru izin hari ini Pak. Katanya banyak pekerjaan yang harus beliau kerjakan, jadi beliau memaksakan diri masuk kantor."

Arian hanya membulatkan mulutnya sambil manggut-manggut mengerti. Tadinya ia hendak mengajak Rendra bermain golf besok, namun ternyata teman bermainnya itu malah sakit. Ketika ia hendak berbalik dan pergi dari ruangan tersebut, ia tiba-tiba kembali mengajukan pertanyaan pada wanita yang mulai membenahi berkas-berkas dokumen di mejanya tersebut. "Oh ya, belum pulang jam segini? Lembur?"

Wanita itu tersenyum sambil mengangguk. "Ya sebentar lagi, selesai benah-benah saya langsung pulang Pak," jawabnya. "Sebenarnya ini semua berkas yang Pak Rendra harus selesaikan, tapi karena beliau sakit, beliau minta bantuan saya untuk menyelesaikan ini semua."

Arian mengernyitkan alisnya, berusaha mengingat apakah Rendra pernah memilih seseorang untuk menjadi asistennya. Dan setelah beberapa menit berpikir, ia sampai pada kesimpulan bahwa temannya itu sama sekali tidak pernah bercerita bahwa ia memperkerjakan seorang asisten, jadi setelah sebelumnya menelisik wanita di depannya ini dari ujung kaki sampai ujung kepala, Arian bertanya, "Kamu asistennya Rendra?"

"Bukan," jawab wanita itu singkat, dengan kekehan pelannya yang terdengar renyah. "Tapi bisa dibilang saya orang yang dipercaya oleh Pak Rendra."

Lagi-lagi untuk yang entah ke berapa kalinya Arian mengangguk, lalu berjalan menghampiri wanita tersebut sambil meraih berkas-berkas yang masih berserakan di meja dan memasukkannya ke dalam ordner.

"Tidak usah Pak, biar saya sa—"

"Saya tidak biasa terima penolakan," ucap Arian sambil tersenyum memandang wajah wanita yang kini berada di sebelahnya tersebut.

"Terima kasih," ucap wanita itu pelan, namun mampu membuat Arian menyunggingkan senyum lebih lebar lagi.

"Jadi, namamu siapa?" tanya Arian kemudian.

Hujan Bulan Desemberजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें