Bab 22

27 2 0
                                    

Andreas berjalan keluar dari ruang rapat sambil mengelus pelipisnya yang masih menyisakan sedikit luka memar dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya ia masukkan ke dalam saku celana. Ia tidak pernah suka rapat mingguan, kakinya pegal jika harus lama-lama duduk di kursi. Ia juga tidak senang diperhatikan sedemikian rupa oleh orang-orang karena luka memar yang sekarang dimilikinya.

Sampai hari ini, Arian belum muncul lagi di kantor. Entah pria itu masih marah padanya, atau karena masih dalam masa pemulihan setelah wajahnya dipukul keras oleh Andreas. Andreas menghela nafasnya mengingat kejadian malam itu. Ia harus segera meminta maaf pada Arian, pikirnya.

Andreas sendiri, merasa tidak masalah dengan wajahnya kini. Ia bukan tipe orang yang terpengaruh mendengar penilaian orang lain. Berbeda dengan Arian, yang memang dibesarkan di keluarga yang sangat terpandang, menjaga citra diri adalah salah satu kewajibannya yang harus selalu ia lakukan. Muncul keluar dengan wajah babak belur akan menjadi topik besar di keluarganya.

Andreas berjalan menyusuri lorong, ketika tiba-tiba saja ia melihat sesosok pria tengah berdiri di depannya, bersandar pada dinding sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Pria itu menoleh dan menatapnya. Andreas kenal betul siapa pria itu. Pria yang tidak pernah ia senangi sejak ia berpacaran dengan Adhira dulu. Namun, hubungannya dengan Adhira pun sekarang sudah benar-benar berakhir, sudah tidak ada alasan lagi baginya untuk terus mendendam pada orang yang berdiri dengan angkuh di hadapannya ini.

"Siang Pak," ucap Rendra, pria tersebut, dengan sangat sopan, namun masih terdengar cukup angkuh di telinga Andreas.

Andreas mengangguk. "Siang," jawabnya singkat. "Ada apa?" tanyanya kemudian, ketika dirasanya bahwa Rendra sengaja menunggunya di tempat ini.

"Boleh saya ajak Bapak makan siang bersama? Ada yang ingin saya bahas," jawab Rendra kemudian.

Andreas melirik arlojinya. Jarum jamnya sudah menunjukkan angka dua belas lewat. Memang sudah waktunya makan siang. Dan akhirnya setelah menimbang ia akhirnya mengangguk. "Oke, di mana?" jawabnya pada Rendra.

Rendra tersenyum malas hanya untuk formalitas. "Biar saya tunjukkan tempatnya," jawabnya kemudian sambil kemudian berjalan, diikuti oleh Andreas di belakangnya.

***

Untuk ke dua kalinya Adhira lagi-lagi harus bolos kerja karena perintah dari Arian. Setelah kemarin ia diminta untuk menemaninya seharian, kini Arian memintanya untuk menemani mamanya bertemu dengan teman-teman organisasi sosialnya.

Arian bilang, kemarin malam ia sudah membicarakan Adhira dengan orang tuanya. Dan mamanya ingin segera bertemu dengan Adhira. Akhirnya, hari ini atas permintaan mamanya, Arian kembali meminta Adhira untuk bertemu dengan Rachma, mama Arian di sebuah restoran siang ini.

Adhira yang tahu akan segera bertemu dengan calon mama mertuanya, merasa panik dan bingung harus memakai pakaian seperti apa. Akhirnya dengan bantuan Rachel, Adhira sudah benar-benar menjelma menjadi seorang dewi ketika ia mematut dirinya di depannya cermin yang terbalut dress kasual yang cocok dengan postur badannya. Pakaian dari riasannya tidak begitu mewah dan cenderung sederhana, namun bagi Adhira, ini adalah kali pertama ia berdandan seniat ini.

Adhira sekarang kini berjalan memasuki restoran dan mencari tempat duduk yang sudah direservasi atas nama Rachma, dan kemudian diantar oleh salah seorang pegawai restoran pada sebuah meja yang sudah diisi beberapa wanita paruh baya di sana. Adhira menelan ludahnya banyak-banyak, tangannya terasa basah karena keringat dingin. Tanpa alasan tertentu kini ia merasa didominasi oleh tatapan-tatapan yang mengarah kepadanya.

"Selamat siang," ucap Adhira sambil memasang senyum semanis mungkin.

Seorang wanita berambut pendek sebahu, seketika menoleh dan tersenyum padanya. "Sini duduk sayang," ucapnya sambil menepuk kursi di sebelahnya, mempersilakan Adhira untuk duduk. Adhira mengangguk sambil kemudian mengambil tempat di kursi tersebut.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now