Bab 20

45 3 3
                                    

Adhira mengerjapkan matanya ketika sinar matahari sore yang menembus kaca ruang tengah rumah Arian menerpa wajahnya. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja kopi di depannya dengan susah payah, berusaha agar Arian tidak sampai terbangun.

"Ow," ucapnya sedikit terkejut ketika dirasanya ia sudah terlalu lama tertidur. Jam di layar ponselnya kini menunjukkan pukul tiga sore. Artinya ia sudah dua jam terlelap dalam pelukan Arian yang sekarang pun masih terpejam.

Dengan perlahan kemudian ia melepas lengan Arian yang masih melingkar di pinggangnya, sambil lalu berdiri dari tempatnya ketika itu, berjalan menuju kamar mandi sambil membereskan kemejanya yang kusut.

Sambil mematut diri di depan cermin, ia tersenyum sendiri mengingat apa yang baru saja ia alami bersama Arian beberapa jam lalu. Ia bahkan sudah lupa bahwa ia pernah merasakan perasaan berdegup seperti ini dulu karena trauma-trauma masa lalunya yang selalu menghantui. Ia kini sadar, bahwa selama ini, ia hanya butuh sedikit keberanian untuk bisa membuat perubahan dalam hidupnya. Ia harus melawan rasa takutnya. Dan beruntung baginya, ia memiliki Arian yang bisa menuntunnya untuk itu.

Setelah beberapa saat merapikan dirinya, ketika ia kemudian keluar dari kamar mandi, ia mendapati Arian sudah terbangun dan tengah duduk di sofa yang ia tiduri tadi sambil sesekali menggosok-gosok matanya. Arian tersenyum pada Adhira yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Kok sudah rapi lagi?" tanyanya kemudian.

"Sudah sore Mas, aku mesti cepet-cepet pulang, Afif sendirian kan di rumah, ibu lagi ke Bandung," jawab Adhira ketika sambil kemudian kembali duduk di sebelah Arian.

"Ya sudah, mas siap-siap dulu ya, mas antar pulang," timpal Arian kemudian hendak berdiri, yang langsung ditahan oleh Adhira.

"Jangan Mas, aku pulang naik taksi aja. Jam segini pasti macet banget, ke kantor aja nggak bisa, masa mau nganter pulang sih?" timpal Adhira.

Arian mengangguk. "Oke deh, lain kali, kalo mas sudah baikan mas anter deh pasti."

Adhira mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian berdiri dan berkata, "sisa lauk masih ada Mas, tinggal nanti Mas angetin aja buat makan malam. Kalau nasi sudah aku masukin rice cooker biar anget."

Arian mengangguk. "Sini, cium dulu," ucapnya kemudian sambil membuka lengannya lebar-lebar.

Adhira tersenyum geli. "Apaan sih Mas ih, geli banget," jawabnya sambil terkekeh pelan.

Arian menarik tangan Adhira, sambil kemudian mencium pipi pacarnya itu gemas.

"Udah ah Mas, aku udah rapi tahu," tolak Adhira berusaha lepas dari genggaman Arian. Arian melepas genggamannya sambil tertawa.

"Aku pulang dulu ya Mas, dah!" ucap Adhira lagi kemudian sambil berjalan meninggalkan Arian yang membalas Adhira dengan lambaian tangan.

***

Di tempat lain, Andreas tengah mengaduk kopi sambil duduk di meja makannya yang menghadap tembok kaca apartemennya. Sinar matahari sore membias hangat pada wajahnya yang terlihat tidak baik. Luka lecet dan lebam masih membekas jelas pada wajahnya, mata yang sayu lemas karena kurang tidur menggantung bersama dengan kantung matanya yang menghitam.

Ia pulang ke rumah dini hari, setelah memaksakan diri bahwa ia tidak ingin menginap di tempat Johan. Ia sadar bahwa ia butuh waktu sendiri. Perasaannya ketika itu masih cukup sakit, dan menangis bisa membuatnya sedikit lebih baik. Sesampainya di rumah, meskipun dirinya sudah merebahkan diri di tempat tidur, pikirannya masih melayang tak menentu, yang hasilnya tetap membuatnya terjaga sampai siang tadi. Barulah, saat ia sadar bahwa dirinya tidak lagi mempunyai sisa air mata untuk dikeluarkan, matanya mulai terasa berat, dan akhirnya ia pun terlelap.

Hujan Bulan DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang