Bab 27

23 2 1
                                    

Arian tengah duduk dengan tegang di sebuah restoran Prancis ketika dilihatnya jemari tangannya semakin licin karena keringat yang terus menerus muncul dari pori-pori kulitnya. Ia punya banyak pengalaman dengan wanita, namun ini adalah pengalaman pertamanya untuk serius dengan satu di antaranya. Arian benar-benar tidak bisa menutupi kegugupan yang melanda dirinya.

Sore tadi, ia meminta untuk bertemu dengan Adhira di restoran Prancis yang sudah beberapa kali mereka datangi untuk makan malam. Adhira yang ketika itu baru saja hendak pulang dari kampus mengatakan bahwa ia akan meluncur langsung ke restoran tersebut tepat ketika itu pula. Dan kini, wanita itu sudah mengabari Arian bahwa sekitar 15 menit lagi dirinya akan tiba di tempat janji.

Arian meremas kotak beledu kecil yang ia masukkan di kantong blazer yang ia pakai. Malam ini, ia akan benar-benar melamar Adhira. Arian memang tidak berencana menyiapkan sebuah pesta mewah atau momen istimewa untuk hal ini seperti menyewa seluruh restoran atau membuat acara flashmob seperti yang ramai orang lakukan di televisi dan internet.

Arian bukannya tidak bisa menyewa restoran malam itu hanya untuk dirinya dengan Adhira, atau membuat acara kejutan yang meriah dan heboh. Bagi Arian, momen berharga seperti ini adalah momen pribadi yang hanya boleh Arian dan Adhira saja yang tahu. Ia menginginkan suasana biasa namun intim, seperti halnya hubungan mereka selama ini, cinta yang menguar di salah satu sudut bumi, bersamaan dengan cinta dari pasangan-pasangan lainnya, namun bagi mereka berdua, cinta merekalah yang paling indah. Maka dari itu, biarlah Arian melamar Adhira di tempat biasa di mana orang lain bebas berlalu lalang, melakukan aktivitas mereka sendiri, tapi momen bahagia itu hanya Adhira dan Arian berdua yang bisa merasakan.

Arian juga tidak ingin jika momen seperti ini dibuat terlalu heboh dengan tarian atau pertunjukkan. Karena pada akhirnya, yang paling penting dari semua hal ini adalah kehadiran Adhira di depannya dan jawaban yang akan ia terima dari Adhira, bukan seberapa hebat persiapan yang telah ia lakukan, atau tarian apa yang sudah ia kuasai.

Setelah mengeluarkan kembali tangannya dari dalam saku blazer, Arian meraih sebuah serbet yang terletak di atas meja, dan mengelap permukaan tangannya yang sudah kembali basah, ketika dilihatnya sosok yang ia tunggu tengah menoleh ke kanan dan kiri mencari dirinya di gawang pintu masuk.

Arian dengan refleks berdiri dan melambai pada Adhira sambil mengulas senyum simpul yang terlihat canggung. Ia benar-benar tidak bisa menahan rasa gugupnya.

Adhira yang melihat kehadiran Arian seketika membalas senyum Arian dengan lengkung cantik pada bibirnya yang ketika itu sukses membuat wajahnya semakin cantik. Ia dengan cepat berjalan pada Arian yang merasa jantungnya semakin berdegup kencang.

"Sudah lama Mas?" tanya Adhira pada Arian ketika dirinya sudah berdiri tepat di depan pria itu.

Arian menggeleng pelan. "Nggak kok," jawabnya singkat. "Ayo duduk," ucapnya lagi mempersilakan Adhira. Adhira mengangguk sambil kemudian menarik kursi di hadapan Arian dan menaruh tas jinjingnya di samping kanan meja.

"Sudah pesan makan?" tanya Adhira kemudian.

Arian menggeleng. "Mas tunggu kamu, jadi kita bisa pesan bareng," jawabnya. Adhira hanya mengangguk, sambil kemudian celingukan mencari pelayan, hendak meminta buku menu. Tidak lama kemudian seorang pelayan laki-laki menghampiri mereka, dan bertanya apa yang sekiranya bisa ia bantu. Adhira kemudian meminta menu, dan pelayan tersebut mengangguk setelah sebelumnya meminta Adhira dan Arian menunggu dirinya sebentar mengambilkannya.

"Aku sudah laper banget Mas," ucap Adhira pada Arian sambil menyeringai. Arian hanya tertawa kecil. Ia masih sedikit berusaha menyunggingkan senyumnya sekalipun dirinya kini sama sekali tidak begitu peduli dengan apa yang dilakukan wanita cantik di depannya ini atau apa yang ia ucapkan. Arian hanya fokus pada dirinya, fokus pada bagaimana supaya dirinya bisa sedikit mengendurkan ketegangan yang masih melandanya.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now