Bab 8

54 10 6
                                    

Jakarta, 1998

Suasana di rumah itu pecah. Bukan keadaannya, tapi literally suasananya. Setelah bertahun-tahun larut dalam kepura-puraan, hari itu semuanya terbuka. Seorang pria paruh baya mengemasi barangnya ke dalam koper. Sedangkan seorang wanita di tempat itu hanya duduk membelakangi pria itu di hadapan meja rias.

Bukan karena tidak sengaja, tapi memang karena sudah tidak tahan, si wanita membentak dan memaki si pria karena pria tersebut sudah hampir satu minggu tidak memberi kabar. Itu bukan yang pertama kalinya, begitu pun dengan alasan pekerjaan yang selalu diutarakan oleh si pria.

Johan, begitu nama pria itu, dan Lisa, nama si perempuan. Keduanya adalah sepasang suami istri yang sebentar lagi akan mengurus perceraian mereka. Lisa tidak pernah menyangka, bahwa pada akhirnya ia akan berani meminta cerai pada Johan. Namun yang ia lebih tidak menyangka lagi adalah, bahwa pernikahannya yang sudah berumur sembilan tahun akan berakhir pada perceraian. Ya, setidaknya bagi Lisa, perceraian mungkin akan lebih baik bagi hidupnya dan kedua anaknya kelak.

Pernikahannya hanya terasa manis di awal, selanjutnya Lisa merasa hidupnya berada di neraka. Bersikap pura-pura tidak tahu bahwa suaminya punya wanita idaman lain rasanya lebih sakit dibanding sebuah perceraian. Malah justru, perceraian terdengar lebih menjanjikan kepuasan batin bagi Lisa ketika itu.

"Kamu tahu sendiri kan, anak-anak lebih dekat denganku," ucap Lisa kemudian.

Johan mengerti maksud Lisa. Dari wajahnya terlihat ia hendak protes, namun setelah berapa lama menatap punggung istrinya itu, ia kembali mengemasi barangnya seraya berkata, "Ya, mereka memang lebih cocok tinggal bersamamu." Lalu mengembuskan napas berat.

Lisa juga ikut mengembuskan napasnya. "Dan satu lagi," ucapnya. "Setelah kita sama-sama keluar dari ruang sidang nanti, mari sepakat untuk tidak pernah menampakkan wajah lagi di depan masing-masing," imbuhnya lagi.

Johan menghentikan kegiatannya untuk sejenak, lalu menatap punggung Lisa yang masih duduk diam di tempatnya sedari tadi. "Jangan kamu pikir aku senang dengan perceraian ini. Kamu bisa anggap aku jahat, tapi semua kesalahan yang aku lakukan selama ini murni karena khilaf," timpal Johan dengan suaranya yang terdengar bergetar seolah menyembunyikan sedan.

Lisa seketika menoleh, memandang wajah Johan dengan penuh amarah, wajahnya merah padam, seolah api kemarahannya kembali tersulut. "Tidak ada ceritanya selingkuh itu khilaf Mas!" bentak Lisa pada Johan kencang. "Semua hal dalam hidupmu itu pilihan, kamu melakukannya dengan sadar! Jangan banyak alasan seolah kamu yang paling benar! Di sini aku yang menderita, kamu yang senang-senang! Kamu tidak tahu apa-apa tentang perasaanku, jangan bertingkah sok tahu!"

"Lis―"

"Huaaaaaa," seorang anak kecil tiba-tiba berteriak menangis, memotong ucapan Johan yang baru saja buka mulut.

Mereka berdua seketika menoleh ke arah sumber suara, dilihatnya seorang anak perempuan berusia delapan tahun tengah berdiri di depan kamar mereka sambil menangis dan menyeka air matanya. Tidak ada dari keduanya yang tahu, sejak kapan gadis kecil itu berdiri di sana. Keduanya terlalu sibuk dengan pertengkaran mereka, tidak memperhatikan bahwa putri sulung mereka tengah menyaksikan. Lisa dengan cepat berdiri dari duduknya dan bergegas menghampiri gadis kecil itu.

"Cup, cup, anak ibu kenapa nangis?" tanya Lisa retoris, pura-pura tidak mengerti. Ia dengan cepat menggendong gadis yang sudah lumayan berat itu dan mengusap kepalanya pelan, sambil kemudian menutup pintu kamarnya, meninggalkan Johan di dalam kamar itu sendirian, menitikkan air mata. []

***

Jakarta, Desember 2010

"Satu juta, kalau lu bisa ajak kencan Donita," ucap Liam pada teman-temannya di gazebo tempat nongkrong mereka depan gedung kuliah.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now