Bab 23

33 2 4
                                    

Lisa sedang mengeluarkan belanjaannya ketika Adhira baru saja masuk ke dalam rumah. "Kamu nggak kerja Dhir?" tanya Lisa ketika melihat anak perempuannya datang bukan mengenakan pakaian kerja.

"Kapan sampe Bu?" tanya Adhira pada Lisa yang tengah duduk di sofa ruang tamu sambil sibuk memisahkan belanjaan keperluan untuk kateringnya. Adhira kemudian duduk di seberang Lisa.

"Tadi pagi, jam sepuluh. Ibu berangkat dianterin subuh-subuh sama ommu sampai naik kereta," jawab Lisa. "Kamu nggak kerja?" tanyanya lagi pada Adhira.

Adhira tersenyum kecil sambil menggeleng. "Dhira habis diajak makan siang sama mamanya mas Arian Bu," jawab Adhira sambil menyeringai senang.

Lisa menatap anaknya itu sambil tersenyum. "Senyum-senyum begitu, kayaknya lancar ya ketemu calon mertua?" ledek Lisa sambil terkekeh. "Bagaimana orangnya?"

"Baik banget Bu, sama kayak mas Arian," jawab Adhira. "Aku pikir tadinya bakal tegang begitu, nggak tahunya ternyata orangnya supel," lanjutnya.

Lisa mengangguk senang. "Sudah ketemu mamanya Arian, apa ini tandanya hubunganmu sama Arian mulai serius?" tanya Lisa kemudian.

Mendengar hal itu, Adhira tiba-tiba teringat ucapan Rachma ketika di mobil tadi yang mengungkit-ungkit soal lamaran. Jika Rachma saja sudah mulai mengangkat topik itu, bukannya berarti Arian sendiri sudah mengaku serius pada keluarganya untuk berhubungan dengannya? Begitu pikir Adhira. Adhira hanya mengedikkan bahu menanggapi pertanyaan ibunya. Namun meskipun begitu wajahnya terlihat sangat bersinar. "Nggak tahu juga Bu, sepertinya sih begitu," ucapnya.

Lisa tersenyum. "Ibu seneng banget kalau kamu akhirnya bisa nikah secepatnya. Umurmu kan juga sudah cukup. Ditambah lagi kemaren-kemaren malah kejadian kan Arian sama Andreas berantem. Kalau kamu sudah nikah kan sudah aman juga," ucap Lisa.

Adhira terdiam sebentar ketika mendengar Lisa mulai menyebut nama Andreas. "Aku dan Andreas sekarang sudah beneran selesai Bu, insyaallah kita sudah bahagia sama jalan masing-masing," ucap Adhira.

Lisa merasakan dadanya sedikit melega. "Ya, syukur kalau begitu," ucapnya singkat.

Setelah itu tidak ada dari keduanya yang berbicara. Lisa sibuk dengan barangnya, dan Adhira dengan pikirannya.

"Sebenarnya bukan kapasitas Ibu buat kasih wejangan ke kamu, mengingat pernikahan ibu sendiri bukan contoh yang baik buat kamu sama Afif. Tapi, kamu harus yakinkan dirimu sendiri bahwa kamu benar-benar siap sebelum akhirnya kamu menikah. Kamu harus tinggalin sifat egoismu selepas kamu jadi tanggung jawab suamimu. Ibu tahu, Dhira bukan anak egois, tapi ibu juga tahu, kamu orang yang punya tujuan, punya banyak harapan, dan kamu harus sadar betul, dalam setiap memilih keputusan ada hal-hal yang harus kamu korbankan," ucap Lisa panjang lebar.

Adhira menatap Lisa sambil mengangguk. Membicarakan pernikahan begini dengan ibunya, tiba-tiba saja ia teringat akan ayahnya. Terlebih jika suatu saat nanti ia menikah, Johan juga harus ada di sana sebagai wali. Adhira merenung sebentar, membayangkan bagaimana reaksi Lisa jika ia akhirnya bertemu lagi dengan Johan. Ia tidak bisa selamanya merahasiakan perihal ayahnya ini pada ibunya. Cepat atau lambat, mau tidak mau Lisa pun harus tahu bahwa Johan masih ada, memperhatikan keluarga mereka.

"omong-omong Afif kok jam segini belum pulang ya?" tanya Lisa kemudian mengalihkan topik. Jarum jam kini sudah menunjukkan angka lima sore. Jadwal sekolah Afif selesai pukul tiga, dan pukul setengah empat biasanya Afif sudah sampai di rumah.

"Iya ya?" Adhira pun ikut terheran. "Dia ada acara ekstrakurikuler hari ini Bu?" tanya Adhira.

Lisa mencoba mengingat sebentar, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Biasanya jadwal taekwondo dia itu hari Sabtu pagi," jawabnya. "Entah mungkin ada jadwal dadakan kali ya?"

Hujan Bulan DesemberKde žijí příběhy. Začni objevovat