Bab 24

41 4 2
                                    

Dua hari berlalu dan Afif masih belum siuman, sekalipun masa kritisnya sudah lewat. Johan yang sudah dua hari ini berdiam diri di kamar pasien menemani anaknya itu pun hanya keluar di saat teman-teman Afif datang berkunjung. Ia tidak tahan melihat anaknya ditangisi, terlebih anaknya itu belum meninggal, dan hal itu malah membuatnya sadar bahwa Afif adalah anak yang dicintai banyak orang, di saat ia sendiri tidak cukup memberi anak itu cinta.

Ia tengah duduk di kursi ruang tunggu sambil memegang botol kaleng jus yang ia beli di kantin rumah sakit, ketika seseorang datang duduk di sebelahnya. "Dokter bilang keadaan Afif makin baik, sebentar lagi dia pasti sadar Mas," ucap orang itu pada Johan yang masih tertunduk menatap jus yang tidak kunjung diminumnya itu. Ia mengusap tangan Johan pelan.

Bulir air menetes dari kelopak mata Johan, jatuh turun menimpa botol kaleng yang dipegangnya. "Mas," ucap orang itu lagi sambil mengelus punggung Johan.

Johan menoleh ke arah orang yang mengusap pelan punggungnya tersebut, dan mendapati Lisa tengah menatapnya. "Maafin aku Lis," ucap Johan pelan.

"Nggak ada yang perlu minta maaf dan dimaafkan. Musibah itu sudah Allah yang ngatur, bukan Mas yang nabrak Afif juga lagian kan?" jawab Lisa.

"Tapi dia ketabrak pas hendak pulang dari restoranku, setelah menemui aku," ucap Johan lagi.

Lisa terdiam sebentar. Jujur, ia sama sekali tidak menyalahkan Johan. Memang betul dirinya sendiri cukup terkejut ketika mengetahui bahwa Afif pergi menemui mantan suaminya itu. Tapi hanya sebatas itu. Mengetahui anaknya masih sehat dan didiagnosa akan cepat pulih seperti semula saja sudah cukup bisa membuatnya bersyukur.

"Kalau memang kejadian tabrakan itu terjadi di depan rumah pun, jika memang sudah takdirnya, manusia bakal datang menghampiri musibah itu Mas," timpal Lisa pelan. "Aku tahu, rasa bersalah yang Mas rasain itu bukan semata karena insiden itu kan? Ada hubungannya dengan masa lalu kita? Mas mempercayai bahwa diri Mas lah yang jadi penyebab hancurnya keluarga kita, Mas merasa menjadi kucing hitam yang membawa kesialan dan menyebabkan musibah?"

Mendengar hal itu Johan terdiam, dalam hatinya ia membenarkan ucapan Lisa.

"Dulu aku selalu berpikir bahwa akan ada banyak sekali hal buruk yang ingin aku ucapkan pada Mas kalau sekiranya suatu saat kita akan bertemu lagi. Tapi kenyataannya setelah aku bertemu kamu lagi, aku nggak lagi berpikir seperti itu. Aku, Adhira dan Afif sadar, bahwa kami sudah berdamai dengan masa lalu kita," ucap Lisa kemudian. "Aku dan Adhira nggak pernah nyalahin Mas atas apa yang terjadi kali ini. Dan aku pun yakin Afif juga berpikir begitu."

Johan mengusap pipinya yang membasah. Ia menatap Lisa sambil tersenyum. "Makasih Lis," ucapnya, yang langsung dibalas pula dengan senyuman oleh Lisa. Johan menatap Lisa cukup lama, menyadari bahwa wanita di depannya ini sudah tidak lagi secantik dulu, namun ia masih bisa menemukan sesuatu dibalik sorot matanya, sesuatu yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kalinya dulu pada wanita ini. Sorot mata yang ia temukan pula pada Adhira, sorot mata kecerdasan dan kebijaksanaan.

Johan tahu, bahwa dirinya masih sangat mencintai Lisa, namun kini ia tersadar, bahwa sekarang hanya dirinyalah yang masih diam di tempat. Lisa sudah tidak lagi memiliki rasa cinta itu. Kenyataan bahwa Lisa sudah berdamai dengan masa lalunya, menjadi pertanda bahwa Johan sudah tidak lagi menjadi bagian penting dalam hidupnya yang perlu ia permasalahkan. Karena sejatinya, lawan dari cinta itu bukan benci, melainkan tidak peduli.

Johan kembali mengalihkan pandangannya. Dirinya kini merasa sedih bercampur lega. Sambil membuang nafas dengan berat, ia kemudian membuka botol minumnya, dan meneguk isinya dengan cepat. Lisa menatapnya seraya berkata, "You'll always be their father".

***

Adhira tengah duduk di atas bangku ruang tunggu di balik sebuah pilar besar yang membelakangi Lisa dan Johan. Tanpa sengaja ia mendengar obrolan kedua orang tuanya, dan matanya menitikkan air mata mendengar ucapan terakhir yang keluar dari mulut Lisa.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now