Bab 4

85 12 7
                                    

Rachel menatap dua orang di depannya yang saling bertukar pandang. Ia sudah berteman dengan Adhira dan satu kelas dengan wanita itu sejak semester pertama, dan dia tahu betul siapa orang yang kini tengah ditatap sahabatnya itu.

"Adhira?"

"Andreas," gumam Adhira pelan.

Keduanya saling menyebut nama masing-masing.

Pria tinggi yang sekarang tengah berdiri di depannya bernama Andreas. Pria yang pernah masuk untuk waktu yang singkat dalam hati Adhira, namun meninggalkan luka yang sangat dalam pada wanita itu.

Andreas dan Adhira pernah menjalin hubungan, yang tidak lama diketahui, ternyata hanya karena sebuah permainan iseng dan nakal anak laki-laki. Rachel tahu sampai saat ini Adhira sudah berusaha sangat keras untuk bisa melupakan Andreas dan segala hal menyakitkan yang ditinggalkan pria itu pada dirinya. Dan sekarang pria berengsek tersebut muncul tepat di depan Adhira, dan berani-beraninya menyebut nama Adhira dengan raut wajah polos, seolah tidak pernah melakukan hal buruk pada Adhira.

"Apa kabar?" tanya Andreas sambil menyunggingkan senyum.

Rachel tahu, Andreas sangat tampan. Dan tersenyum semakin membuat wajahnya terlihat menarik. Tapi alih-alih merasa terpesona pada pria itu, yang ingin Rachel lakukan sekarang adalah memukul wajah pria itu sampai berdarah, membuatnya babak belur, dan kalau bisa kehilangan aset paling berharga yang pria itu miliki.

Ketika dirinya sudah mengangkat tangan kirinya, bersiap untuk melayangkan pukulan pada Andreas, dengan cepat Adhira menahannya. "Aku baik," jawab Adhira datar. "Sangat baik malah," lanjutnya dengan penekanan, cukup membuat Andreas menyadari bahwa Adhira tidak senang bertemu dengannya.

Andreas tersenyum kikuk. Dia tidak menyangka hanya dengan menanyakan kabar akan membuatnya merasa canggung dan didominasi. Dia sadar pernah menyakiti wanita di depannya ini dulu, namun dia tidak pernah menyangka bahwa wanita tersebut akan secara keras namun implisit menolak kehadirannya lagi.

Sedari awal dia tahu bahwa hal ini tidak akan mudah. Maka sedari awal pula ia menghidupi dirinya dengan pelarian. Tentu ia merindukan saat-saat bertemu dengan wanita itu seperti sekarang, namun selama ini dirinya pun tidak pernah berusaha untuk memenuhi kerinduannya itu. Bahkan kedatangannya kembali ke Indonesia pun, sudah jelas bukan untuk menemui wanita yang tengah berdiri di hadapannya ini.

Karena bagi Andreas, Adhira adalah paranoia. Adhira terlalu banyak memunculkan rasa gundah dan perasaan tidak nyaman bahkan hanya karena setiap kali ia mengingatnya. Dan Andreas mengingat Adhira setiap saat, terlebih setiap kali ia menatap butiran air yang turun dari langit penuh awan abu berarak, mengingatkannya pada sebuah kejadian di kafe beberapa tahun lalu.

Ia tahu ia rindu, namun sama sekali tidak berharap untuk bertemu. Ia terlalu takut untuk menghadapi kenyataan, menghadapi reaksi Adhira ketika bertemu dengan dirinya. Yang mana juga berarti, ia harus siap menghilangkan rasa rindu tersebut karena telah terbayar dengan bertemu muaranya.

Benci untuk mengakuinya, Andreas tahu bahwa ia seorang masokhis. Ia terlalu menikmati rasa rindunya, tidak peduli rasa gundah dan tidak nyaman yang selalu ia rasakan selama ini datang menyergap. Dan sekarang ia merasa kacau, terlebih ketika mengetahui reaksi Adhira yang sesuai dengan ekspektasinya.

"Sudah ya, aku mau pulang," ucap Adhira lagi kemudian membuyarkan lamunannya, sambil menggandeng tangan Rachel. "Permisi," ucapnya lagi, meminta agar Andreas menyingkir dari hadapannya dan memberinya ruang untuk berjalan.

Andreas dengan refleks menyingkir, membiarkan Adhira keluar bersama Rachel, dan menatap punggung Adhira ketika wanita itu melenggang keluar melewatinya. Sebelum dua orang tersebut menghilang di belokan yang mengarah ke tempat parkir, Andreas memanggil, "Adhira!"

Hujan Bulan DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang