Bab 7

69 11 6
                                    

Entah apa yang ada di pikiran Andreas, pagi-pagi sekali dirinya sudah berada di ujung gang sebuah perumahan, bersandar pada badan mobilnya yang di parkir bersisian dengan sebuah tiang listrik, memperhatikan sebuah rumah bergaya minimalis di ujung jalan dekat pertigaan selama lebih dari satu jam.

Ini hari Sabtu, dan kantor libur. Tadi malam ia melakukan panggilan video dengan teman satu pekerjaannya dulu ketika masih di Berlin untuk beberapa menit. Namun obrolan singkat itu justru malah membuatnya tidak bisa tidur sampai dini hari. Setelah sekian lama mendapat zona nyamannya, kini ia kembali merasa gelisah. Selama ini ia hidup dengan bayangan-bayangan akan seseorang, namun pertemuan singkatnya dengan orang itu kemarin sore pada akhirnya membuatnya berpikir bahwa ia menginginkan hidup bersama lebih dari sebuah bayangan.

Gadis itu masih ada, masih terlihat sama seperti dulu, bahkan justru lebih menawan. Dan Andreas berpikir bahwa ia tidak akan bisa lagi memuaskan hidupnya dengan fantasi-fantasi jika orang yang ia fantasikan masih hidup di dunia nyata.

Langit pagi itu mendung, angin berembus cukup kencang. Lagi, setiap suasana seperti ini angannya selalu melayang pada pikiran akan gadis itu. Wajah gadis itu yang menekuk dan matanya yang memerah, yang ia tinggalkan begitu saja tanpa peduli dengan si gadis di sebuah kafe beberapa tahun lalu, yang selalu berhasil menimbulkan rasa sesal di dadanya sampai sekarang.

Rumah itu, rumah yang sedari tadi ia perhatikan, adalah tempat di mana gadis itu tinggal. Satu harapan yang sedari tadi ia lantunkan dalam hatinya, semoga gadis itu masih tinggal di sana. Ia baru bertemu kembali dengan gadis itu satu kali, dan itu pun tidak disertai dengan obrolan berarti. Tidak ada petunjuk lain selain alamat rumah ini yang akan mengantarnya ke hadapan si gadis. Semalaman ia berusaha untuk mengerti perasaan yang mulai kembali bergemuruh dalam hatinya setelah beberapa tahun ini tidak lagi ia rasa, yang akhirnya mengantarnya pada sebuah konklusi bahwa dirinya tidak bisa, atau lebih tepatnya tidak akan terus menerus merasa nyaman dengan hidupnya kini.

Hatinya mulai merasa tidak puas, ia menginginkan hal lebih. Dan apa yang ia inginkan, sudah tersaji di depan mata. Batinnya kelaparan, dan ia merasa kekurangan asupan.

Ia sudah tidak tahan lagi. Jadi, setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya dan membuang semua rasa malunya, ia berencana untuk mendatangi gadis itu, menyelesaikan masalah yang menderanya. Karena bagaimanapun juga, temannya benar. Sekalipun tidak berakhir bahagia, setidaknya ia tidak lagi hidup dalam penyesalan.

Ia terus menatap rumah itu dari jauh, dan tidak berani mendatanginya. Satu ingatan yang terus terngiang dalam pikirannya, ingatan bahwa dirinya dulu berlaku kejam pada gadis itu, sukses membuatnya ragu untuk melangkah. Padahal jaraknya menuju pintu pemaafan itu hanya kurang dari lima belas meter.

Setelah sekian lama menunggu, sebuah mobil tiba-tiba muncul dan berhenti di depan gerbang rumah tersebut. Andreas dengan refleks memasang wajah awas, terlebih ketika seorang pria keluar dari dalam mobil tersebut, ia menatap dan memperhatikan gerak gerik pria itu yang tengah menunggu gerbang dibuka dari dalam setelah sebelumnya memencet bel. Dan tidak butuh waktu lama, seorang gadis membuka gerbang itu, sambil tersenyum melihat si pria yang juga melempar senyum menyapa.

Dia, gadis itu. Gadis yang membuatnya tidak bisa tidur tadi malam. Adhira.

Andreas tetap memperhatikan kedua orang tersebut tanpa sedikit pun berkedip. Mereka terlibat obrolan yang terlihat cukup serius, sebelum kemudian Adhira menggenggam tangan si pria sambil tersenyum senang. Tidak lama kemudian, keduanya masuk dan menutup gerbang. Meninggalkan Andreas yang masih diam berdiri di tempatnya tadi dan memberinya sejuta pikiran yang berkelebat dalam benaknya tentang pria yang menemui Adhira di depan rumahnya itu, tanpa tahu harus berekspresi seperti apa.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now